January 23, 2006

ZERO SUM GAME INSTRUMEN DERIVATIF

Jurnal PRESTASI STIE bank BPD Jateng No.3/ I/1999 :

MUKADDIMAH
Krisis moneter berkepanjangan yang terjadi akhir-akhir ini sepertinya menjadi sebuah media ‘penyadaran’ bagi kalangan dunia usaha. Sebelum krisis terjadi, banyak pelaku bisnis yang sepertinya tenang-tenang saja dan optimis menatap jalannya roda perekonomian – kecuali Gendeng Pamungkas barangkali.

Bukan suatu hal yang aneh jika kemudian para pelaku bisnis tersebut merasa kebakaran jenggot akibat krisis ini. Volatilitas yang menjadikan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar sampai ke titik nadir memporak-porandakan optimisme yang sebenarnya dibangun diatas fondasi perekonomian yang sedemikian rapuh.

Keyakinan yang terlalu berlebihan terhadap kondisi perekonomian tersebut menjadikan mereka lupa bahwa sudah seharusnya aktivitas binis yang dilakukan dilindungi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal, sudah sejak lama para pakar ekonomi finansial menyediakan sarana perlindungan tersebut, yaitu hedging (lindung nilai /tangkal risiko) melalui instrumen derivatif.

Sejarah derivatif dimulai pada paruh pertama abad 19 dengan dioperasikannya Chicago Board of Trade pada tahun 1848. Transaksi derivatif yang pada awalnya masih terbatas pada futures komoditi pertanian kemudian berkembang pada berbagai asset finansial. Pada perkembangan selanjutnya, instrumen options ikut meramaikan transaksi derivatif semenjak dioperasikannya Chicago Board Options Exchange (CBOE) pada tahun 1973.

Kini, lebih dari 400 saham menjadi underlying asset transaksi options di Chicago Board Options Exchange, Philadelpia Stock Exchange, New York Stock Exchange, American Stock Exchange dan Pacific Stock Exchange dengan jumlah rata-rata penutupan kontrak per hari masing-masing sebesar 523.098, 89.540, 12.687, 169.822 dan 57.025 selama periode Januari sampai dengan Agustus 1990 (European Options Exchange Bulletin, Sept.1990).

Meski bisa dipergunakan sebagai sarana hedging, produk derivatif tidak lepas dari kritikan-kritikan yang bernada menyudutkan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat transaksi derivatif merupakan ‘permainan’ yang sangat berisiko di mana peran para spekulan juga banyak mempengaruhi transaksi yang terjadi.

Ambruknya Baring Brothers Bank PLC dan Daiwa Bank cabang New York memberi sedikit bukti bahwa transaksi ini sangat berisiko. Chrash-nya Wall Street pada 19 Oktober 1987 juga dimungkinkan oleh jenis transaksi ini. Di Indonesia, hal itu bisa dilihat dari kebangkrutan yang pernah dialami oleh Bank Duta.

Hal itulah barangkali yang membuat orang kemudian bersikap negatif terhadap keberadaan produk derivatif, meski banyak juga yang setuju dengan anggapan bahwa instrumen keuangan ini akan mengurangi risiko dan membuat pasar menjadi efisien.

Tulisan sederhana ini ditulis untuk mencoba melihat apakah produk dasar derivatif (options, futures) merupakan zero sum game, suatu ‘permainan’ yang menghasilkan nilai nihil di mana keuntungan (kerugian) suatu pihak menjadi kerugian (keuntungan) bagi yang lain, dengan metode dan sudut pandang yang juga sederhana.

PRODUK DERIVATIF
Derivatif, adalah instrumen keuangan yang imbal hasilnya merupakan derivikasi dari kinerja aset lain yang menjadi dasarnya (underlying asset). Underlying asset tersebut terdiri dari commodity related dan financial related. Produk derivatif dapat dikelompokkan menjadi options, futures, forwards dan swaps

Options
Options (opsi) adalah produk derivatif yang memberikan hak (rights) – bukan kewajiban -- kepada pemiliknya untuk membeli (call) atau menjual (put) suatu underlying asset pada harga tertentu yang ditetapkan sebelumnya (strike /exercise price) untuk diserahkan pada waktu yang akan datang (expiration date). Oleh pembelinya, hak ini boleh dipergunakan, boleh juga tidak – bergantung pada situasi di masa depan. Bila pemegang hak memutuskan untuk menggunakan haknya, pihak penjual wajib menyerahkan atau membeli aset dari si pemegang hak.

Bagi pemegang call option, hak beli tersebut akan dipergunakan dengan melakukan exercise apabila harga underlying asset melebihi strike price. Saat melakukan exercise, ia hanya akan dibebebani call options premium. Sedangkan bagi pemegang put option, hak jual akan dilaksanakan apabila harga underlying asset lebih rendah daripada strike price.

Sebagai misal, sebuah perusahaan mengikuti tender untuk memasok barang dari Amerika ke Indonesia. Tender akan membayar kepada pemenangnya dalam rupiah, sementara biaya yang harus dibayarkan dalam US dollar. Dikarenakan belum tentu menang tender, perusahaan kemudian membeli call option yang memberikan hak membeli US$ dengan kurs tertentu terhadap rupiah yang masa jatuh temponya disesuaikan dengan masa pengumuman tender. Bila perusahaan kemudian menang tender dan nilai US$ menguat terhadap rupiah, perusahaan dapat mempergunakan haknya membeli US$ dengan harga yang lebih rendah dibanding harga pasar saat itu.

Contoh diatas memperlihatkan salah satu ciri options, yaitu adanya fleksibilitas bagi pembeli hak (call). Dengan kata lain, terdapat hubungan asimetris antara penjual (put) dengan pembeli (call) options. Terdapat hubungan di mana salah satu pihak harus menanggung kerugian sementara pihak yang lain diuntungkan.

Sebagai misal, seorang investor membeli call option atas Indeks Nikei 225 pada 20 Januari 1997 dengan expiration date pada 20 Juli 1997. Nilai contract size sebesar 200 kali indeks dengan strike price sebesar $ 500 (Sp) dan option premium sebesar $10 (Op). Pada tanggal 15 April 1997, indeks Nikei naik sebesar 100 poin dari 500 yang menaikkan nilai kontrak menjadi sebesar $600 (Ep) pada 20 Januari 1997. Dikarenakan indeks naik, investor tersebut kemudian melakukan exercise atas opsi yang dimiliki pada saat itu juga.

Laba yang diperoleh investor tersebut adalah ($600-($500+$10)) x 200 = $18000, sedangkan kerugian yang dialami oleh si penjual sebesar -($600-($500+$10) x 200 = $ 18000. Jika nilai indeks turun lebih rendah dibanding strike price, investor dapat membatalkan kontrak tersebut hanya dengan membayar sejumlah call options premium kepada si penjual call. Artinya, kerugian maksimum yang mungkin diderita oleh pembeli call hanyalah sebesar nilai options premium (Oc) apabila nilai indeks turun lebih kecil dibandingkan strike price. Dengan kata lain, keuntungan maksimal yang dapat diperoleh penjual call hanyalah sebesar nilai call options premium.

Sedangkan dalam kasus pembeli put, pembeli akan memperoleh keuntungan apabila harga underlying asset pada saat di-exercise turun lebih rendah dibanding exercise price atau (Ep-Sp), sementara kerugian yang dapat ia derita hanyalah sebesar nilai options premium (-Op). Sedangkan kerugian yang diderita penjual put adalah sebesar nilai exercise price (Ep) dikurangi options premium (Op) dengan keuntungan maksimal hanya sebesar options premium.

Jika diringkas, payoff dari pembeli dan penjual call & put optons akan memperlihatkan bahwa kentungan (kerugian) bagi penjual (pembeli) adalah kerugian (keuntungan) bagi pembeli (penjual).

Futures
Futures adalah sebuah kontrak yang mengikat kedua belah pihak untuk menjual (short) atau membeli (long) suatu underlying asset yang penyerahannya akan dilakukan pada waktu yang akan datang (expiration date) dengan harga (initial futures price) yang ditetapkan sekarang. Berbeda dengan options yang merupakan bukti kepemilikan hak (rights), futures mewajibkan pemegangnya untuk melaksanakan haknya.

Sebagai misal, seorang investor membeli future contract atas suatu komoditi pada 20 Januari 1997 selama enam bulan dengan initial future price sebesar $100. Saat jatuh tempo, nilai kontrak futures tersebut bernilai sudah bernilai $500. Pembeli (penjual) kontrak akan mendapatkan keuntungan (kerugian) sebesar $400. Disini terjadi hubungan simetris di mana keuntungan (kerugian) satu pihak menjadi kerugian (keuntungan) bagi yang lain dalam jumlah yang sama.

KESIMPULAN
Catatan kecil yang barangkali dapat di simpulkan dari tulisan diatas adalah bahwa instrumen derivatif adalah sebuah ‘permainan berjumlah nihil’ (zero sum game). Kerugian disatu pihak merupakan keuntungan bagi yang lain.

Meski demikian, kita tidak harus bersikap negatif terhadap keberadaan instrumen ini (masih ada produk derivatif yang dapat memberikan win-win solution, yaitu swap). Ia masih bisa memberikan hal yang positif, seperti pasar yang lebih efisien dan transparan, bergantung pada bagaimana kita akan menggunakannya.

Sebuah usulan menarik pernah dikemukakan Sjahril Madjidi, Direktur PT. Bursa Efek Surabaya (BES), yang mengusulkan adanya bursa yang khusus mengakomodasikan instrumen hedging (Bisnis Indonesia, 9 Oktober 1997). Jika transaksi diakomodasikan melalui bursa, maka perdagangan forward yang selama ini bersifat less regulated akan lebih terkontrol. Selain itu, pemerintah dan swasta dapat mempergunakan bursa tersebut sebagai referensi guna menekan gejolak kurs karena semua transaksi yang terjadi dapat diketahui.


REFERENSI
:
  • Taufik Hidayat. “Pertumbuhan dan Kestabilan di Tahun Macan”. Makalah diskusi mahasiswa di STIE Bank BPD Jateng, 22 Januari 1998.
  • Husnan, Suad. “Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas”. UPP AMP YKPN Yogyakarta, 1996.
  • Klein, R.A., & J.Lederman. Derivatives Risk and Responsibility. Irwin, 1996
  • Marshall, John F. Futures and Option Contracting : Theory and Practice, South-Western Publishing Co., 1989.
  • Sembel, Roy. “Menang Bisnis dengan Strategi Swap”. KONTAN No.41, Juli 1997
  • Weston, J.Fred & Thomas E.Copeland. Managerial Finance 9th ed.The Dryden Press, 1992
  • Bisnis Indonesia, 25 Juli 1997
  • European Options Exchange Bulletin, Sept.1990
  • Manajemen dan Usahawan Indonesia, No.08/Th.XXVI, Agustus 1997