Jawa Pos Radar Semarang, 9 & 10 Agustus 2000 :
Maraknya pemberitaan di banyak media berkaitan dengan segala hal yang berbau internet nampaknya memberi gambaran betapa euforia akan dunia maya ini benar-benar sedang mewabah di tanah air. Hal ini sepertinya menjadi pembenar tentang apa yang pernah diramalkan dulu oleh para futurolog tentang sebuah 'kampung kecil dunia' benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Dunia, kini tak lebih sebagai sebuah kampung kecil dimana umat manusia bisa saling bersua, berbagi pesan, sentuhan pikiran dan berhubungan dengan cepat tanpa membutuhkan waktu dan tenaga yang berlebihan. Kutub-kutub pemisah jarak dan waktu, seolah sudah sedemikian dekatnya sehingga disparitas atau kesenjangan yang sebelumnya melebar, kini menjadi kian sempit.
Maka benar bila seperti pernah disinyalir oleh Alvin Toffler, telah terjadi sebuah pergeseran dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Komunitas baru di masyarakat ini begitu getol memburu informasi (e-community). Dalam waktu 24 jam sehari yang sepertinya masih kurang, komunitas ini memburu sekian juta informasi yang setiap saat siap untuk di up-date. Mereka memiliki kesempatan untuk saling berbagi begitu banyak informasi di jagat raya bumi ini melalui sebuah jejaring maya yang dikenal sebagai internet. Internet adalah semacam jagat raya yang terus-menerus berkembang, memiliki geografi dan budaya sendiri. Dalam bola dunia cyber ini, berbagai orang dari penjuru dunia berkomunikasi melalui zona waktu yang berbeda tanpa harus saling bertatap muka, dan informasinya tersedia selama 24 jam sehari dari ribuan tempat.
Fenomena ini begitu besar pengaruhnya, hingga kemudian muncul sebuah punctuated equlibrium dan paradigma baru bagi masyarakat 'baru' ini yaitu new economy. Dalam artian yang sederhana, new economy atau new internet economy adalah sebuah istilah yang merefleksikan berbagai macam aktivitas dengan basis internet dan teknologi informasi. Dengan term-term e(electronic)-things-nya, new economy memunculkan banyak terminologi baru di masyarakat seperti e-commerce, e-procurement, e-distribution, e-sevices, e-government, e-business, e-banking, dan lain sebagainya.
Yang menarik, maraknya e-lifestyle ini sepertinya telah 'menggusur' keberadaan dan peran dari old economy yang selama ini telah ada seperti pernah dilansir Lester Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism (1997) : ‘Capitalism,democracy and high technology dominate the world economy, in a paradoxical and incompatible changes…” . Don Tapscot, penulis The Digital Economy yang dijuluki Wakil Presiden Amerika Al Gore sebagai salah satu maha guru cyber, juga mengatakan bahwa perubahan fenomena bisnis yang terjadi pada saat sekarang ini membawa konsekuensi logis yang mengharuskan berbagai macam akivitas mau tidak mau bergabung dalam bisnis di internet. Pernyataan tersebut didukung Andrew J. Macpherson, Mitra Pengelola Kompetensi Teknologi Andersen Consulting Asia-Pasific, yang mengatakan bahwa e-economy telah menjadi lingkungan sekaligus aturan dan tatanan bisnis baru.
Entah di mana letak kebenarannya, namun euforia yang berkembang seolah memberi satu simpulan bahwa the new economy has changed old economy. Salah satu fenomena yang bisa membuktikan adalah banyaknya para pebisnis yang berlomba-lomba terjun di bisnis berbasis internet dan TI (teknologi informasi) atau -- meminjam istilah Benoit Marchal -- ‘migrating to e-commerce’.
Di Amerika, kita bisa melihat banyak perusahaan old-company yang mulai melirik dunia web seperti Sears (sears.com), Procter & Gamble (reflect.com), Barnes & Noble (barnesandnoble.com), Amazon (amazon.com) dan lain sebagainya. Bahkan raja hiburan Time Warner yang berkiprah sejak tahun 1925 dengan total pendapatan sebesar US$ 23 miliar bersedia merger dengan America Online (AOL) yang baru berdiri pada tahun 1985 dengan pendapatan per tahun yang hanya US$ 5, 2 miliar. Jika kita sempat membuka Time, Fortune, Newsweek, BusinessWeek atau apa pun majalah Amerika, akan kita temui bahwa hanya ada sedikit perusahaan saja yang belum mencatatkan ‘.com’-nya.
Di tanah air, kita juga menyaksikan perusahaan-perusahaan old-company yang melakukan hal serupa seperti Grup Astra, Grup Ciputra, Srup Sinar Mas dan beberapa old-media seperti Kompas, Jawa Pos dan Tempo. Selain itu, banyak pula bermunculan perusahaan-perusahaan baru (startup companies) yang menggelar bisnis berbasis internet dan TI ini seperti wasantara.net, indosat.net, CBNnet yang menyediakan jasa internet service provider (ISP), penyedia jasa-jasa on-line seperti portal detik.com, astaga.com, satunet.com, dan lain sebagainya. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah, mengingat jumlah investasi asing yang juga menanamkan modalnya di bidang internet dan TI terus bertambah. Jika pada tahun 1998 hanya segelintir investor yang ikut terlibat seperti Reuters (Inggris), Datacom (Selandia Baru), Tedopres (Belanda) dan CFdT (Prancis) dengan total investasi sebesar US$ 1, 51 juta, maka pada tahun 1999 jumlah tersebut meningkat menjadi 16 investor dengan total investasi US$ 8,39 juta yaitu Amerika Serikat (US$ 4, 57 juta), Singapura (US$ 970 ribu), Malaysia (US$ 300 ribu), Jepang (US$ 450 ribu), Belanda (US$ 1, 45 juta), Korea Selatan (US$ 400 ribu) dan India (US$ 250 ribu).
Namun benarkan bahwa kemunculan new economy dengan e-lifestyle-nya benar-benar telah menggantikan keberadaan dan peran old economy ?
Asal Muasal Internet
Jagat maya internet berawal dari sebuah proyek DARPA (Department of Defense Advanced Research Projects Agency) milik Kementerian Pertahanan Amerika Serikat di tahun 1969. Proyek eksperimen bernama ARPANET tersebut punyai misi mencoba menggali teknologi jaringan yang dapat menghubungkan para peneliti dengan berbagai sumber daya jauh seperti sistem komputer dan pangkalan data yang besar.
Keberhasilan ARPANET kemudian memacu banyak bidang lain untuk membantu dan membudidayakan sejumlah jaringan lain untuk menjadi saling berhubungan. Dua puluh lima tahun kemudian, sistem ini berevolusi menjadi suatu 'organisme' yang semakin luas perkembangannya yang mencakup puluhan juta orang dan ribuan jaringan. Dalam perjalanannya kemudian, ‘organisme’ ini benar-benar luas berkembang menjadi sebuah jaringan yang kemudian dikenal sebagai internet.
Menurut sebuah jurnal organisasi profesional para pengembang internet, Internet Society (ISOC), hingga musim semi 1994 pengguna internet mencakup lebih dari 200 negara dengan 35.000 jaringan dan 3 juta komputer. Pada saat itu, sebagian besar komputer dan jaringan yang tersambungkan ke internet masih berkaitan dengan masyarakat pendidikan dan penelitian. Kenyataan ini tidaklah mengejutkan karena internet memang lahir dari benih penelitian.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh International Data Corporation (IDC), pengguna internet di seluruh dunia pada tahun 1995 berjumlah 19 juta dan naik menjadi 200 juta pengguna pada tahun 1999. Diperkirakan, jumlah tersebut akan bertambah lebih besar menjadi 502 juta pengguna (2003) dan 1 miliar pengguna (2005). Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil riset yang dilakukan Iconocast (iconocast.com) yang memberikan angka 196 juta pengguna di tahun 1999 dan 500 juta pengguna di tahun 2003. Iconocast juga memperkirakan nilai ekonomi (mencakup hardware /software komputer, riteler dan broker on-line, portal dan berbagai bisnis yang berhubungan dengan web) internet pada tahun 1999 mencapai US$ 507 miliar dan akan mengalami kenaikan menjadi sebesar US$ 1, 2 triliun pada tahun 2003. Sedangkan jumlah pengguna internet di Indonesia pada saat ini menurut laporan IDC berjumlah lebih kurang 135 ribu pengguna.
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret yang lalu, Richard Kartawijaya dari Microsoft Indonesia memberikan indikasi dimana dunia akan berubah pada 10 tahun mendatang lebih cepat dari 50 tahun terakhir. Demikian pula dalam dunia bisnis, internet menjadi katalis yang menentukan masa depan perdagangan dengan kemunculan electronic commerce (e-commerce).
Menurut McKinsey & Company, e-commerce terbagi dalam tiga rantai nilai (value chain) yaitu jasa penghubung pengguna ke internet seperti internet service provider, perangkat ‘pembangun’ internet seperti web hosting dan penyedia portal serta mesin pencari (search engine) yang memungkinkan akses bisnis dengan cara business to consumer (B2C) atau business to business (B2B). Diperkirakan, B2B bakal menjadi motor penggerak pertumbuhan e-commerce di masa depan.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Forrester Research pada bulan November 1998, laju pertumbuhan e-commerce yang diawali pada tahun 1997 memberi satu simpulan bahwa model B2B jauh melampaui model B2C dari segi nilai bisnis. Hal ini dilihat dari nilai bisnis yang dihasilkan oleh B2B yang sampai dengan tahun ini telah mencapai kira-kira US$ 200 juta, sedangkan B2C masih di bawah US$ 5 juta. Riset tersebut memproyeksikan nilai bisnis B2B pada tahun 2002 bisa mencapai US$ 1 milyar dan akan bertambah menjadi US$6,9 triliun pada 2004, sementara B2C sampai saat itu diperkirakan belum mampu menyamai posisi B2B pada saat ini. Forrester juga memperkirakan dalam empat tahun mendatang sebagian besar negara Asia, Amerika Selatan dan Eropa Barat akan mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi dalam e-commerce dengan mengubah internet menjadi business engine yang lebih mengglobal.
Pertumbuhan e-commerce negara-negara di Asia dan Pasifik akan dimulai pada tahun 2002 dengan sebagian besar negara mencapai tingkat pertumbuhan yang sangat pesat pada akhir tahun 2003. Kawasan ini diperkirakan akan tumbuh lebih dari 100 persen setiap tahunnya dengan keterlibatan Jepang, Australia, Korea Selatan dan Taiwan sebagai motor penggeraknya. Amerika Serikat Riset diproyeksikan akan menguasai 75 persen pasar e-commerce global dengan nilai bisnis sebesar US$488,7 milyar pada tahun 2000 yang akan meningkat jumlahnya menjadi US$3,19 triliun pada tahun 2004. Kesuksesan Amerika Serikat tersebut akan diikuti oleh Amerika Tengah dan Selatan yang akan memulainya pada tahun 2004. Sedangkan Eropa Barat diperkirakan akan tumbuh dengan sangat pesat (hypergrowth) pada tahun 2001. Sayangnya hal ini belum dapat diikuti oleh sebagian besar negara Eropa Timur, Afrika serta Timur Tengah yang diperkirakan belum mulai tumbuh hingga tahun 2005. Khusus Indonesia, IDC memprediksikan nilai transaksi e-commerce akan mengalami lonjakan luar biasa dari total transaksi sebesar US$ 100 juta (1999) menjadi US$ 1, 2 miliar (2003) dengan 700 ribu pengguna.
Peluang
Terlepas dari kebenaran angka dan perkiraan yang ada, perkembangan dunia maya yang sedemikian pesat tersebut memunculkan banyak anggapan bahwa new economy dengan e-commerce-nya bakal menciptakan mesin uang bagi pemiliknya. Salah satu parameter yang bisa dilihat dari hal itu adalah maraknya perburuan saham-saham berbasis internet dan TI investor di seluruh dunia.
Hal ini tidak lepas dari sukses dan maraknya optimisme yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan dotcom seperti keberhasilan Yahoo! yang mampu mengungguli kapitalisasi pasar raja hiburan Time Warner hanya dalam kurun waktu kurang dari enam tahun. Selain itu, beberapa e-company lain yang mencatat kapitalisasi sangat menggiurkan diantaranya adalah America Online (AOL), eBay dan Amazon, tom.com dan Pacific CyberWork.
Di Wall Street, saham-saham dotcom mengalami kenaikan sedikitnya 20 % hingga 50 % sejak pertengahan tahun lalu. Saham-saham teknologi informasi paling populer saat ini semacam Microsoft, Yahoo, Dell Computer dan Qualcomm juga menjadi hot stock penggerak naiknya indeks harga saham sepanjang tahun ini di bursa Nasdaq. Akhir Maret lalu indeks Nasdaq ditutup ditutup pada posisi 4.644, 67 setelah melesat 575, 36 poin dari posisi Desember 1999 yang masih pada posisi 4.069, 31. Portofolio investor juga berubah pada saham-saham semikonduktor, bioteknologi, fiber optic, internet dan komponen pendukung yang lain. Diperkirakan, saham-saham dotcom ini akan mampu membuat indeks Nasdaq ke level 6.000.
Gambaran yang sama juga terlihat di Hong Kong. Saham perusahaan internet tom.com mengalami oversubsribed sebesar 3000 kali saat Initial Public Offering (IPO). Pada hari pertama perdagangan, harga saham milik konglomerat Li Ka-Shing ini mampu melejit hingga HK$ 7, 75 dari harga perdana HK$ 1, 78. Di Bursa Efek Jakarta, beberapa saham perusahaan publik seperti Astra Graphia (astraworld.com), Metrodata Elektronik (sentralayan.com), AGIS (agisstore.com) dan Multipolar (multipolar.com) yang disebut-sebut sebagai perusahaan berbasis TI juga memperlihatkan hal yang serupa. Bahkan isu pergantian core business Lippo Life menjadi cyber internet dan e-commerce yang belum jelas kebenarannya menyebabkan lonjakan harga yang sangat tinggi. Saat Lippo Life mengumumkan rencana ini, harga sahamnya yang pada waktu itu berada pada posisi Rp 450 dengan volume transaksi 29,5 juta unit melejit harganya pada pembukaan sesi berikutnya menjadi Rp 670 dan terus meningkat menjadi Rp 950 dengan volume transaksi 811,5 juta lembar saham.
Tak heran jika kemudian para investor di hampir seluruh penjuru dunia begitu getol memburu saham-saham berbasis internet dan TI dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang besar dari lonjakan harga yang terjadi. Namun benarkah jika kemudian kita beranggapan bahwa kepemilikan terhadap bisnis yang berbasis internet dan TI akan selalu memberikan keuntungan seperti yang diharapkan ?
Paradoks
Harapan yang terlalu berlebihan terhadap perkembangan dunia internet dan TI yang sedemikian cepat dan keuntungan yang bakal diperoleh dari kepemilikan saham-saham tersebut bisa jadi justru memberikan hal yang sebaliknya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Perkins bersaudara dalam bukunya The Internet Bubble (1999) karena dalam ‘sejarahnya’ yang boleh dibilang masih seumur jagung, banyak terjadi saham perusahaan yang laris manis diperebutkan investor ternyata masih dalam posisi merugi dan bahkan ada yang belum mencatat record penjualan sama sekali.
Saham toko buku maya amazon.com milik Jeff Bezos -- yang pernah ditahbiskan majalah Time sebagai man of the year 1999 -- dan sering dijadikan parameter klasik kesuksesan e-commerce misalnya, ternyata masih mencatat kerugian sebesar US$ 124, 5 juta pada tahun 1998 dan US$ 720 juta pada tahun 1999. Selain itu, terdapat setidaknya lima puluh perusahaan dotcom lain di Amerika yang terancam gulung tikar karena masalah cashflow. Hal yang nyaris serupa ternyata juga terjadi di Indonesia. Jika kita mau mencermati, diantara sekian banyak portal yang muncul di tanah air, boleh dibilang hanya detik.com milik Agrakom yang bisa mendulang banyak pemasukan dari iklan. Sedangkan portal lain seperti astaga.com milik Batavia Investment, BOA dan Zurich Insurance itu bahkan belum menerima sepeser pun pemasukan.
Selain itu, perkembangan yang terjadi di beberapa bursa dunia juga menunjukkan hal yang sama. Jika pada bulan Maret 2000 indeks beberapa bursa dunia mengalami kenaikan akibat lonjakan harga saham-saham internet dan TI, kondisi yang sebaliknya terjadi di bulan April 2000. Tepat pada penutupan di hari Jumat pertengahan April yang lalu, banyak perusahaan-perusahaan TI dan telekomunikasi di Asia harganya turun sekitar 10 persen akibat sentimen negatif yang mulai terjadi terhadap saham-saham dotcom yang terjadi di Amerika dan seluruh bursa di hampir setiap negara.
Di Singapura, Straits Times Index rata-rata turun sebesar 9 persen. Hal ini dipicu oleh penurunan saham spesialis multimedia Creative Technology Ltd. yang anjlok 17,2 persen, spesialis jaringan Datacraft Ltd. yang turun tajam 20,5 persen dan perusahaan telepon Internet Mediaring Pte Ltd. yang juga anjlok hingga 16,2 persen. Perusahaan telekomunikasi Singapore Telecommunications Ltd. (SingTel) juga mengalami penurunan sebesar 6,5 persen. Bursa teknologi Kosdaq di Korea turun 11,8 persen dan main board Korea Stock Exchange juga turun. Indeks Nikkei di Jepang turun hampir 7 persen dalam sehari. Indeks Hang Seng di Hong Kong juga turun lebih dari 8,5 persen dalam sehari. Perusahaan investasi Internet Pacific Century CyberWorks ditutup dengan penurunan hampir 14 persen, dan Cable & Wireless HKT kehilangan lebih dari 11 persen. Perusahaan telekomunikasi China Telecom Ltd juga kehilangan hampir 15 persen. Di Australia, sektor yang terkena dampak paling keras adalah telekomunikasi. Saham Davnet Pty. Ltd. turun 20,7 persen, Cable & Wireless Optus Ltd. turun 11,5 persen, OneTel turun 15,9 persen dan saham perusahaan telekomunikasi nasional Telstra turun 4,8 persen.
Tekanan di pasar Growth Enterprise Market (GEM) bahkan lebih keras. Pasar yang didesain untuk perusahaan kecil yang baru memulai bisnisnya ini turun 12,7 persen dalam sehari. Tom.com, perusahaan portal yang beberapa minggu lalu menarik perhatian investor kecil yang ingin membeli IPO-nya, anjlok 15 persen menjadi HK$6,65, di bawah harga IPO-nya. Perusahaan penyedia layanan aplikasi e-commerce digitalhongkong.com yang baru memulai IPO-nya berakhir pada HK$1,10, lebih rendah dari harga HK$1,2 yang ditawarkan. Di Bursa Efek Jakarta, terdapat beberapa saham dari sekian perusahaan yang disebut-sebut bergerak di bidang internet dan TI -- karena memang belum ada satu pun perusahaan internet yang listing di BEJ -- yang pada awal-awal perdagangan memberikan gain bagi para pemilik sahamnya, kini sudah mulai terkoreksi kembali. Gambaran serupa juga terjadi di Eropa. Brian Trusott dalam Asian Wall Strett memberi indikasi banyak orang di Eropa mulai melepas saham-saham dotcom karena takut akan bahaya ‘bubble economy’. Sebaliknya, saham-saham old economy seperti Reuters, Astrazenaca dan British Telecomunication mulai diburu kembali.
Meskipun para analis mengatakan bahwa penurunan harga saham teknologi tidak akan menghentikan peluncuran teknologi baru dan harga saham pada saat sekarang tidak bisa kita jadikan parameter baik-buruknya perusahaan, roller coaster tersebut setidaknya memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan dotcom memang benar-benar sedang terkoreksi dalam arti yang sebenarnya.
Perusahaan riset pasar Gartner Group memperkirakan bahwa akan terdapat sekitar 95 hingga 98 persen perusahaan internet pemula (startup company) yang akan diakuisisi, merger atau bahkan bangkrut dalam dua tahun mendatang. Hasil riset yang dilakukan Merrill Lynch juga memprediksikan hal yang sama dimana 75 persen dari sekitar 400 hingga 500 perusahaan dotcom publik akan mengalami kebangkrutan. Menurut Forrester Research Inc., kematian besar perusahaan-perusahaan dotcom akan dialami oleh sebagian besar perusahaan ritel pada akhir tahun depan yang hanya menjalankan bisnisnya secara on-line.
Berangkat dari apa yang dipaparkan diatas, agaknya kita perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati terhadap hingar bingarnya fenomena new economy dan e-commerce. Artinya, dengan tanpa harus menafikkan keberadaan dan peran new economy, kita tidak perlu bersikap latah untuk kemudian meninggalkan paradigma-paradigma investasi ‘usang’ yang telah ada. Sebab banyaknya peluang yang muncul sama banyaknya dengan jebakan yang tersembunyi di baliknya. Teknologi selalu mempesona karena menjanjikan masa depan yang lebih mudah dan lebih cerah. Lantas bagaimana kemudian kita harus bersikap ?
Warren Buffet, master of science ilmu ekonomi yang sukses sekaligus investor kodang di Wall Street, memberikan satu prinsip investasi yang sangat berharga : by a company rather than a stock rice. Maksudnya kurang lebih adalah anjuran untuk membeli saham berdasar apa yang sebenarnya ada pada perusahaan itu, dan tidak hanya sekedar melihat harga sahamnya. Atau belilah saham berdasar analisis fundamental yang mengorek isi perut perusahaan, dan bukan sekedar analisis teknikal yang lebih berdasarkan pergerakan harga saham. Murid dua maha guru Benjamin Graham dan Philip Fisher itu begitu mempercayai bahwa harga pasar dalam (jangka pendek) lebih ditentukan karena emosi para investor. Namun dalam jangka panjang, pasar akan menggambarkan fundamental perusahaan yang sebenarnya. Karena itu ia cenderung mencari nilai intrinsik (bukan harga nominal), menghindari gambling serta mengenal betul pasar tanpa mau didikte oleh mood pasar yang sedang berkembang.
Bukti keberhasilan Buffet menerapkan prinsip membeli bisnis yang sederhana dan mudah dimengerti, memiliki sejarah operasi yang konsisten dan prospek jangka panjang yang baik adalah kemampuannya dalam mendapatkan keuntungan lebih dari US$ 100 miliar dengan hanya bermodal US$ 100. Prinsip dalam itu ia gunakan untuk membeli saham Washington Post, perusahaan asuransi Geico Corporation, perusahaan media Capital Cities /ABS dan Coca-Cola. Ia juga pernah membeli 2 ribu lembar saham Berkshire Hathaway dengan harga US$ 7,5 per lembar yang kemudian naik menjadi US$ 38 ribu per lembar sahamnya tiga dasawarsa kemudian.
Prinsip investasi Buffet tersebut sejalan dengan pemikiran John White dalam bukunya How to Invest in Stocks and Shares yang pada intinya mengatakan bahwa sebagian besar investor bukan hanya mencari suatu cara untuk cepat kaya, namun tujuan terpenting adalah mencari pendekatan obyektif jangka panjang yang praktis dan wajar.
Nasehat Buffet dan John White bisa jadi sebuah prinsip old economy yang tidak akan pernah berlaku bagi para pengikut new economy. Namun bila ditelaah lebih jauh, nasehat ini mengandung nilai yang begitu harganya bila kita kaitkan dengan maraknya perburuan terhadap saham-saham berbasis internet dan TI. Apalagi jika kita menyadari bahwa bisnis yang terkait dalam new-economy masih dalam tahapan negative earnings generators.
Meski dalam banyak hal kita harus mengakui bahwa perkembangan internet dan teknologi informasi akan semakin maju, namun kita juga harus menyadari bahwa agaknya terlalu dini untuk segera menjadikan new economy sebagai paramater penggerak perekonomian. Artinya, jika Buffet bisa membuktikan ‘kehebatan’ prinsip old economy, maka masih diperlukan waktu untuk bisa membuktikan apakah new economy benar-benar akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Wallahu’alam.
Maraknya pemberitaan di banyak media berkaitan dengan segala hal yang berbau internet nampaknya memberi gambaran betapa euforia akan dunia maya ini benar-benar sedang mewabah di tanah air. Hal ini sepertinya menjadi pembenar tentang apa yang pernah diramalkan dulu oleh para futurolog tentang sebuah 'kampung kecil dunia' benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Dunia, kini tak lebih sebagai sebuah kampung kecil dimana umat manusia bisa saling bersua, berbagi pesan, sentuhan pikiran dan berhubungan dengan cepat tanpa membutuhkan waktu dan tenaga yang berlebihan. Kutub-kutub pemisah jarak dan waktu, seolah sudah sedemikian dekatnya sehingga disparitas atau kesenjangan yang sebelumnya melebar, kini menjadi kian sempit.
Maka benar bila seperti pernah disinyalir oleh Alvin Toffler, telah terjadi sebuah pergeseran dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Komunitas baru di masyarakat ini begitu getol memburu informasi (e-community). Dalam waktu 24 jam sehari yang sepertinya masih kurang, komunitas ini memburu sekian juta informasi yang setiap saat siap untuk di up-date. Mereka memiliki kesempatan untuk saling berbagi begitu banyak informasi di jagat raya bumi ini melalui sebuah jejaring maya yang dikenal sebagai internet. Internet adalah semacam jagat raya yang terus-menerus berkembang, memiliki geografi dan budaya sendiri. Dalam bola dunia cyber ini, berbagai orang dari penjuru dunia berkomunikasi melalui zona waktu yang berbeda tanpa harus saling bertatap muka, dan informasinya tersedia selama 24 jam sehari dari ribuan tempat.
Fenomena ini begitu besar pengaruhnya, hingga kemudian muncul sebuah punctuated equlibrium dan paradigma baru bagi masyarakat 'baru' ini yaitu new economy. Dalam artian yang sederhana, new economy atau new internet economy adalah sebuah istilah yang merefleksikan berbagai macam aktivitas dengan basis internet dan teknologi informasi. Dengan term-term e(electronic)-things-nya, new economy memunculkan banyak terminologi baru di masyarakat seperti e-commerce, e-procurement, e-distribution, e-sevices, e-government, e-business, e-banking, dan lain sebagainya.
Yang menarik, maraknya e-lifestyle ini sepertinya telah 'menggusur' keberadaan dan peran dari old economy yang selama ini telah ada seperti pernah dilansir Lester Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism (1997) : ‘Capitalism,democracy and high technology dominate the world economy, in a paradoxical and incompatible changes…” . Don Tapscot, penulis The Digital Economy yang dijuluki Wakil Presiden Amerika Al Gore sebagai salah satu maha guru cyber, juga mengatakan bahwa perubahan fenomena bisnis yang terjadi pada saat sekarang ini membawa konsekuensi logis yang mengharuskan berbagai macam akivitas mau tidak mau bergabung dalam bisnis di internet. Pernyataan tersebut didukung Andrew J. Macpherson, Mitra Pengelola Kompetensi Teknologi Andersen Consulting Asia-Pasific, yang mengatakan bahwa e-economy telah menjadi lingkungan sekaligus aturan dan tatanan bisnis baru.
Entah di mana letak kebenarannya, namun euforia yang berkembang seolah memberi satu simpulan bahwa the new economy has changed old economy. Salah satu fenomena yang bisa membuktikan adalah banyaknya para pebisnis yang berlomba-lomba terjun di bisnis berbasis internet dan TI (teknologi informasi) atau -- meminjam istilah Benoit Marchal -- ‘migrating to e-commerce’.
Di Amerika, kita bisa melihat banyak perusahaan old-company yang mulai melirik dunia web seperti Sears (sears.com), Procter & Gamble (reflect.com), Barnes & Noble (barnesandnoble.com), Amazon (amazon.com) dan lain sebagainya. Bahkan raja hiburan Time Warner yang berkiprah sejak tahun 1925 dengan total pendapatan sebesar US$ 23 miliar bersedia merger dengan America Online (AOL) yang baru berdiri pada tahun 1985 dengan pendapatan per tahun yang hanya US$ 5, 2 miliar. Jika kita sempat membuka Time, Fortune, Newsweek, BusinessWeek atau apa pun majalah Amerika, akan kita temui bahwa hanya ada sedikit perusahaan saja yang belum mencatatkan ‘.com’-nya.
Di tanah air, kita juga menyaksikan perusahaan-perusahaan old-company yang melakukan hal serupa seperti Grup Astra, Grup Ciputra, Srup Sinar Mas dan beberapa old-media seperti Kompas, Jawa Pos dan Tempo. Selain itu, banyak pula bermunculan perusahaan-perusahaan baru (startup companies) yang menggelar bisnis berbasis internet dan TI ini seperti wasantara.net, indosat.net, CBNnet yang menyediakan jasa internet service provider (ISP), penyedia jasa-jasa on-line seperti portal detik.com, astaga.com, satunet.com, dan lain sebagainya. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah, mengingat jumlah investasi asing yang juga menanamkan modalnya di bidang internet dan TI terus bertambah. Jika pada tahun 1998 hanya segelintir investor yang ikut terlibat seperti Reuters (Inggris), Datacom (Selandia Baru), Tedopres (Belanda) dan CFdT (Prancis) dengan total investasi sebesar US$ 1, 51 juta, maka pada tahun 1999 jumlah tersebut meningkat menjadi 16 investor dengan total investasi US$ 8,39 juta yaitu Amerika Serikat (US$ 4, 57 juta), Singapura (US$ 970 ribu), Malaysia (US$ 300 ribu), Jepang (US$ 450 ribu), Belanda (US$ 1, 45 juta), Korea Selatan (US$ 400 ribu) dan India (US$ 250 ribu).
Namun benarkan bahwa kemunculan new economy dengan e-lifestyle-nya benar-benar telah menggantikan keberadaan dan peran old economy ?
Asal Muasal Internet
Jagat maya internet berawal dari sebuah proyek DARPA (Department of Defense Advanced Research Projects Agency) milik Kementerian Pertahanan Amerika Serikat di tahun 1969. Proyek eksperimen bernama ARPANET tersebut punyai misi mencoba menggali teknologi jaringan yang dapat menghubungkan para peneliti dengan berbagai sumber daya jauh seperti sistem komputer dan pangkalan data yang besar.
Keberhasilan ARPANET kemudian memacu banyak bidang lain untuk membantu dan membudidayakan sejumlah jaringan lain untuk menjadi saling berhubungan. Dua puluh lima tahun kemudian, sistem ini berevolusi menjadi suatu 'organisme' yang semakin luas perkembangannya yang mencakup puluhan juta orang dan ribuan jaringan. Dalam perjalanannya kemudian, ‘organisme’ ini benar-benar luas berkembang menjadi sebuah jaringan yang kemudian dikenal sebagai internet.
Menurut sebuah jurnal organisasi profesional para pengembang internet, Internet Society (ISOC), hingga musim semi 1994 pengguna internet mencakup lebih dari 200 negara dengan 35.000 jaringan dan 3 juta komputer. Pada saat itu, sebagian besar komputer dan jaringan yang tersambungkan ke internet masih berkaitan dengan masyarakat pendidikan dan penelitian. Kenyataan ini tidaklah mengejutkan karena internet memang lahir dari benih penelitian.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh International Data Corporation (IDC), pengguna internet di seluruh dunia pada tahun 1995 berjumlah 19 juta dan naik menjadi 200 juta pengguna pada tahun 1999. Diperkirakan, jumlah tersebut akan bertambah lebih besar menjadi 502 juta pengguna (2003) dan 1 miliar pengguna (2005). Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil riset yang dilakukan Iconocast (iconocast.com) yang memberikan angka 196 juta pengguna di tahun 1999 dan 500 juta pengguna di tahun 2003. Iconocast juga memperkirakan nilai ekonomi (mencakup hardware /software komputer, riteler dan broker on-line, portal dan berbagai bisnis yang berhubungan dengan web) internet pada tahun 1999 mencapai US$ 507 miliar dan akan mengalami kenaikan menjadi sebesar US$ 1, 2 triliun pada tahun 2003. Sedangkan jumlah pengguna internet di Indonesia pada saat ini menurut laporan IDC berjumlah lebih kurang 135 ribu pengguna.
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret yang lalu, Richard Kartawijaya dari Microsoft Indonesia memberikan indikasi dimana dunia akan berubah pada 10 tahun mendatang lebih cepat dari 50 tahun terakhir. Demikian pula dalam dunia bisnis, internet menjadi katalis yang menentukan masa depan perdagangan dengan kemunculan electronic commerce (e-commerce).
Menurut McKinsey & Company, e-commerce terbagi dalam tiga rantai nilai (value chain) yaitu jasa penghubung pengguna ke internet seperti internet service provider, perangkat ‘pembangun’ internet seperti web hosting dan penyedia portal serta mesin pencari (search engine) yang memungkinkan akses bisnis dengan cara business to consumer (B2C) atau business to business (B2B). Diperkirakan, B2B bakal menjadi motor penggerak pertumbuhan e-commerce di masa depan.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Forrester Research pada bulan November 1998, laju pertumbuhan e-commerce yang diawali pada tahun 1997 memberi satu simpulan bahwa model B2B jauh melampaui model B2C dari segi nilai bisnis. Hal ini dilihat dari nilai bisnis yang dihasilkan oleh B2B yang sampai dengan tahun ini telah mencapai kira-kira US$ 200 juta, sedangkan B2C masih di bawah US$ 5 juta. Riset tersebut memproyeksikan nilai bisnis B2B pada tahun 2002 bisa mencapai US$ 1 milyar dan akan bertambah menjadi US$6,9 triliun pada 2004, sementara B2C sampai saat itu diperkirakan belum mampu menyamai posisi B2B pada saat ini. Forrester juga memperkirakan dalam empat tahun mendatang sebagian besar negara Asia, Amerika Selatan dan Eropa Barat akan mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi dalam e-commerce dengan mengubah internet menjadi business engine yang lebih mengglobal.
Pertumbuhan e-commerce negara-negara di Asia dan Pasifik akan dimulai pada tahun 2002 dengan sebagian besar negara mencapai tingkat pertumbuhan yang sangat pesat pada akhir tahun 2003. Kawasan ini diperkirakan akan tumbuh lebih dari 100 persen setiap tahunnya dengan keterlibatan Jepang, Australia, Korea Selatan dan Taiwan sebagai motor penggeraknya. Amerika Serikat Riset diproyeksikan akan menguasai 75 persen pasar e-commerce global dengan nilai bisnis sebesar US$488,7 milyar pada tahun 2000 yang akan meningkat jumlahnya menjadi US$3,19 triliun pada tahun 2004. Kesuksesan Amerika Serikat tersebut akan diikuti oleh Amerika Tengah dan Selatan yang akan memulainya pada tahun 2004. Sedangkan Eropa Barat diperkirakan akan tumbuh dengan sangat pesat (hypergrowth) pada tahun 2001. Sayangnya hal ini belum dapat diikuti oleh sebagian besar negara Eropa Timur, Afrika serta Timur Tengah yang diperkirakan belum mulai tumbuh hingga tahun 2005. Khusus Indonesia, IDC memprediksikan nilai transaksi e-commerce akan mengalami lonjakan luar biasa dari total transaksi sebesar US$ 100 juta (1999) menjadi US$ 1, 2 miliar (2003) dengan 700 ribu pengguna.
Peluang
Terlepas dari kebenaran angka dan perkiraan yang ada, perkembangan dunia maya yang sedemikian pesat tersebut memunculkan banyak anggapan bahwa new economy dengan e-commerce-nya bakal menciptakan mesin uang bagi pemiliknya. Salah satu parameter yang bisa dilihat dari hal itu adalah maraknya perburuan saham-saham berbasis internet dan TI investor di seluruh dunia.
Hal ini tidak lepas dari sukses dan maraknya optimisme yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan dotcom seperti keberhasilan Yahoo! yang mampu mengungguli kapitalisasi pasar raja hiburan Time Warner hanya dalam kurun waktu kurang dari enam tahun. Selain itu, beberapa e-company lain yang mencatat kapitalisasi sangat menggiurkan diantaranya adalah America Online (AOL), eBay dan Amazon, tom.com dan Pacific CyberWork.
Di Wall Street, saham-saham dotcom mengalami kenaikan sedikitnya 20 % hingga 50 % sejak pertengahan tahun lalu. Saham-saham teknologi informasi paling populer saat ini semacam Microsoft, Yahoo, Dell Computer dan Qualcomm juga menjadi hot stock penggerak naiknya indeks harga saham sepanjang tahun ini di bursa Nasdaq. Akhir Maret lalu indeks Nasdaq ditutup ditutup pada posisi 4.644, 67 setelah melesat 575, 36 poin dari posisi Desember 1999 yang masih pada posisi 4.069, 31. Portofolio investor juga berubah pada saham-saham semikonduktor, bioteknologi, fiber optic, internet dan komponen pendukung yang lain. Diperkirakan, saham-saham dotcom ini akan mampu membuat indeks Nasdaq ke level 6.000.
Gambaran yang sama juga terlihat di Hong Kong. Saham perusahaan internet tom.com mengalami oversubsribed sebesar 3000 kali saat Initial Public Offering (IPO). Pada hari pertama perdagangan, harga saham milik konglomerat Li Ka-Shing ini mampu melejit hingga HK$ 7, 75 dari harga perdana HK$ 1, 78. Di Bursa Efek Jakarta, beberapa saham perusahaan publik seperti Astra Graphia (astraworld.com), Metrodata Elektronik (sentralayan.com), AGIS (agisstore.com) dan Multipolar (multipolar.com) yang disebut-sebut sebagai perusahaan berbasis TI juga memperlihatkan hal yang serupa. Bahkan isu pergantian core business Lippo Life menjadi cyber internet dan e-commerce yang belum jelas kebenarannya menyebabkan lonjakan harga yang sangat tinggi. Saat Lippo Life mengumumkan rencana ini, harga sahamnya yang pada waktu itu berada pada posisi Rp 450 dengan volume transaksi 29,5 juta unit melejit harganya pada pembukaan sesi berikutnya menjadi Rp 670 dan terus meningkat menjadi Rp 950 dengan volume transaksi 811,5 juta lembar saham.
Tak heran jika kemudian para investor di hampir seluruh penjuru dunia begitu getol memburu saham-saham berbasis internet dan TI dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang besar dari lonjakan harga yang terjadi. Namun benarkah jika kemudian kita beranggapan bahwa kepemilikan terhadap bisnis yang berbasis internet dan TI akan selalu memberikan keuntungan seperti yang diharapkan ?
Paradoks
Harapan yang terlalu berlebihan terhadap perkembangan dunia internet dan TI yang sedemikian cepat dan keuntungan yang bakal diperoleh dari kepemilikan saham-saham tersebut bisa jadi justru memberikan hal yang sebaliknya. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Perkins bersaudara dalam bukunya The Internet Bubble (1999) karena dalam ‘sejarahnya’ yang boleh dibilang masih seumur jagung, banyak terjadi saham perusahaan yang laris manis diperebutkan investor ternyata masih dalam posisi merugi dan bahkan ada yang belum mencatat record penjualan sama sekali.
Saham toko buku maya amazon.com milik Jeff Bezos -- yang pernah ditahbiskan majalah Time sebagai man of the year 1999 -- dan sering dijadikan parameter klasik kesuksesan e-commerce misalnya, ternyata masih mencatat kerugian sebesar US$ 124, 5 juta pada tahun 1998 dan US$ 720 juta pada tahun 1999. Selain itu, terdapat setidaknya lima puluh perusahaan dotcom lain di Amerika yang terancam gulung tikar karena masalah cashflow. Hal yang nyaris serupa ternyata juga terjadi di Indonesia. Jika kita mau mencermati, diantara sekian banyak portal yang muncul di tanah air, boleh dibilang hanya detik.com milik Agrakom yang bisa mendulang banyak pemasukan dari iklan. Sedangkan portal lain seperti astaga.com milik Batavia Investment, BOA dan Zurich Insurance itu bahkan belum menerima sepeser pun pemasukan.
Selain itu, perkembangan yang terjadi di beberapa bursa dunia juga menunjukkan hal yang sama. Jika pada bulan Maret 2000 indeks beberapa bursa dunia mengalami kenaikan akibat lonjakan harga saham-saham internet dan TI, kondisi yang sebaliknya terjadi di bulan April 2000. Tepat pada penutupan di hari Jumat pertengahan April yang lalu, banyak perusahaan-perusahaan TI dan telekomunikasi di Asia harganya turun sekitar 10 persen akibat sentimen negatif yang mulai terjadi terhadap saham-saham dotcom yang terjadi di Amerika dan seluruh bursa di hampir setiap negara.
Di Singapura, Straits Times Index rata-rata turun sebesar 9 persen. Hal ini dipicu oleh penurunan saham spesialis multimedia Creative Technology Ltd. yang anjlok 17,2 persen, spesialis jaringan Datacraft Ltd. yang turun tajam 20,5 persen dan perusahaan telepon Internet Mediaring Pte Ltd. yang juga anjlok hingga 16,2 persen. Perusahaan telekomunikasi Singapore Telecommunications Ltd. (SingTel) juga mengalami penurunan sebesar 6,5 persen. Bursa teknologi Kosdaq di Korea turun 11,8 persen dan main board Korea Stock Exchange juga turun. Indeks Nikkei di Jepang turun hampir 7 persen dalam sehari. Indeks Hang Seng di Hong Kong juga turun lebih dari 8,5 persen dalam sehari. Perusahaan investasi Internet Pacific Century CyberWorks ditutup dengan penurunan hampir 14 persen, dan Cable & Wireless HKT kehilangan lebih dari 11 persen. Perusahaan telekomunikasi China Telecom Ltd juga kehilangan hampir 15 persen. Di Australia, sektor yang terkena dampak paling keras adalah telekomunikasi. Saham Davnet Pty. Ltd. turun 20,7 persen, Cable & Wireless Optus Ltd. turun 11,5 persen, OneTel turun 15,9 persen dan saham perusahaan telekomunikasi nasional Telstra turun 4,8 persen.
Tekanan di pasar Growth Enterprise Market (GEM) bahkan lebih keras. Pasar yang didesain untuk perusahaan kecil yang baru memulai bisnisnya ini turun 12,7 persen dalam sehari. Tom.com, perusahaan portal yang beberapa minggu lalu menarik perhatian investor kecil yang ingin membeli IPO-nya, anjlok 15 persen menjadi HK$6,65, di bawah harga IPO-nya. Perusahaan penyedia layanan aplikasi e-commerce digitalhongkong.com yang baru memulai IPO-nya berakhir pada HK$1,10, lebih rendah dari harga HK$1,2 yang ditawarkan. Di Bursa Efek Jakarta, terdapat beberapa saham dari sekian perusahaan yang disebut-sebut bergerak di bidang internet dan TI -- karena memang belum ada satu pun perusahaan internet yang listing di BEJ -- yang pada awal-awal perdagangan memberikan gain bagi para pemilik sahamnya, kini sudah mulai terkoreksi kembali. Gambaran serupa juga terjadi di Eropa. Brian Trusott dalam Asian Wall Strett memberi indikasi banyak orang di Eropa mulai melepas saham-saham dotcom karena takut akan bahaya ‘bubble economy’. Sebaliknya, saham-saham old economy seperti Reuters, Astrazenaca dan British Telecomunication mulai diburu kembali.
Meskipun para analis mengatakan bahwa penurunan harga saham teknologi tidak akan menghentikan peluncuran teknologi baru dan harga saham pada saat sekarang tidak bisa kita jadikan parameter baik-buruknya perusahaan, roller coaster tersebut setidaknya memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan dotcom memang benar-benar sedang terkoreksi dalam arti yang sebenarnya.
Perusahaan riset pasar Gartner Group memperkirakan bahwa akan terdapat sekitar 95 hingga 98 persen perusahaan internet pemula (startup company) yang akan diakuisisi, merger atau bahkan bangkrut dalam dua tahun mendatang. Hasil riset yang dilakukan Merrill Lynch juga memprediksikan hal yang sama dimana 75 persen dari sekitar 400 hingga 500 perusahaan dotcom publik akan mengalami kebangkrutan. Menurut Forrester Research Inc., kematian besar perusahaan-perusahaan dotcom akan dialami oleh sebagian besar perusahaan ritel pada akhir tahun depan yang hanya menjalankan bisnisnya secara on-line.
Berangkat dari apa yang dipaparkan diatas, agaknya kita perlu bersikap lebih bijak dan hati-hati terhadap hingar bingarnya fenomena new economy dan e-commerce. Artinya, dengan tanpa harus menafikkan keberadaan dan peran new economy, kita tidak perlu bersikap latah untuk kemudian meninggalkan paradigma-paradigma investasi ‘usang’ yang telah ada. Sebab banyaknya peluang yang muncul sama banyaknya dengan jebakan yang tersembunyi di baliknya. Teknologi selalu mempesona karena menjanjikan masa depan yang lebih mudah dan lebih cerah. Lantas bagaimana kemudian kita harus bersikap ?
Warren Buffet, master of science ilmu ekonomi yang sukses sekaligus investor kodang di Wall Street, memberikan satu prinsip investasi yang sangat berharga : by a company rather than a stock rice. Maksudnya kurang lebih adalah anjuran untuk membeli saham berdasar apa yang sebenarnya ada pada perusahaan itu, dan tidak hanya sekedar melihat harga sahamnya. Atau belilah saham berdasar analisis fundamental yang mengorek isi perut perusahaan, dan bukan sekedar analisis teknikal yang lebih berdasarkan pergerakan harga saham. Murid dua maha guru Benjamin Graham dan Philip Fisher itu begitu mempercayai bahwa harga pasar dalam (jangka pendek) lebih ditentukan karena emosi para investor. Namun dalam jangka panjang, pasar akan menggambarkan fundamental perusahaan yang sebenarnya. Karena itu ia cenderung mencari nilai intrinsik (bukan harga nominal), menghindari gambling serta mengenal betul pasar tanpa mau didikte oleh mood pasar yang sedang berkembang.
Bukti keberhasilan Buffet menerapkan prinsip membeli bisnis yang sederhana dan mudah dimengerti, memiliki sejarah operasi yang konsisten dan prospek jangka panjang yang baik adalah kemampuannya dalam mendapatkan keuntungan lebih dari US$ 100 miliar dengan hanya bermodal US$ 100. Prinsip dalam itu ia gunakan untuk membeli saham Washington Post, perusahaan asuransi Geico Corporation, perusahaan media Capital Cities /ABS dan Coca-Cola. Ia juga pernah membeli 2 ribu lembar saham Berkshire Hathaway dengan harga US$ 7,5 per lembar yang kemudian naik menjadi US$ 38 ribu per lembar sahamnya tiga dasawarsa kemudian.
Prinsip investasi Buffet tersebut sejalan dengan pemikiran John White dalam bukunya How to Invest in Stocks and Shares yang pada intinya mengatakan bahwa sebagian besar investor bukan hanya mencari suatu cara untuk cepat kaya, namun tujuan terpenting adalah mencari pendekatan obyektif jangka panjang yang praktis dan wajar.
Nasehat Buffet dan John White bisa jadi sebuah prinsip old economy yang tidak akan pernah berlaku bagi para pengikut new economy. Namun bila ditelaah lebih jauh, nasehat ini mengandung nilai yang begitu harganya bila kita kaitkan dengan maraknya perburuan terhadap saham-saham berbasis internet dan TI. Apalagi jika kita menyadari bahwa bisnis yang terkait dalam new-economy masih dalam tahapan negative earnings generators.
Meski dalam banyak hal kita harus mengakui bahwa perkembangan internet dan teknologi informasi akan semakin maju, namun kita juga harus menyadari bahwa agaknya terlalu dini untuk segera menjadikan new economy sebagai paramater penggerak perekonomian. Artinya, jika Buffet bisa membuktikan ‘kehebatan’ prinsip old economy, maka masih diperlukan waktu untuk bisa membuktikan apakah new economy benar-benar akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Wallahu’alam.