January 23, 2006

Mencari Solusi Utang Luar Negeri

Opinion. www.lippostar.com, 24/10/2000 :

Seperti sudah diduga dan telah terjadi pada masa-masa sebelumnya, Indonesia berhasil mendapat kucuran dana yang tak lain adalah utang baru pada sidang Consultative Group for Indonesia (CGI) di Tokyo, 17 - 18 Oktober 2000. Total pinjaman yang bakal `dinikmati' rakyat Indonesia dari hasil lobi-lobi Tim Ekonomi kabinet Gus Dur adalah US$ 4.836 miliar ditambah dengan hibah, bantuan teknis dan dukungan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebesar US$ 530 juta.

Dengan demikian, kekhawatiran bahwa kasus-kasus seperti isu pelanggaran HAM di Atambua, Texmaco atau divestasi saham BCA dan Bank Niaga bakal mengganjal negara-negara donor dalam memberikan pinjaman ternyata tidak terjadi. Yang terjadi justru sebuah 'berkah' berupa surplus pinjaman dari total pinjaman yang diharapkan dapat diterima. Padahal, CGI selalu menerapkan prinsip dan persyaratan yang ketat dalam memberikan pinjaman, seperti penegakan hukum, good governance, pemberantasan korupsi, efisiensi, restrukturisasi sektor swasta dan pengurangan kemiskinan yang hasilnya sampai kini dapat dikatakan masih nol besar.

Disadari atau tidak, kenyataan ini sebenarnya menunjukkan bahwa negara atau lembaga-lembaga kreditur yang memberikan pinjaman memiliki kepentingan terhadap Indonesia. Kendati barangkali sulit untuk membuktikan, kita hampir pasti dapat merasakan betapa mereka telah benar-benar memanfaatkan potensi yang kita miliki untuk kepentingan mereka sendiri. Satu hal yang pasti, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar bagi keuntungan negara-negara maju. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kita juga mendapatkan keuntungan atau win-win solution dari `permainan' ini ?

Utang Luar Negeri dan Defisit Anggaran
Seperti yang telah kita ketahui, ditengah asumsi yang dibuat dengan sedemikian optimistis, RAPBN 2001 ternyata masih membukukan defisit anggaran sebesar Rp 52.12 triliun atau 3.7 persen dari Produk Domestik bruto (PDB) akibat jumlah pengeluaran negara (Rp 295.11 triliun) melebihi jumlah pendapatan negara (Rp 242.99 triliun).

Selain melalui pembiayaan atau utang luar negeri (Rp 20.12 triliun), defisit akan ditutup dengan pembiayaan non-perbankan dalam negeri sebesar Rp 32 triliun yang meliputi hasil privatisasi atau penjualan BUMN sebesar Rp 5 triliun dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan dari BPPN yang diharapkan dapat menghasilkan pemasukan sebesar Rp 27 triliun.

Namun nampaknya, sulit untuk bisa berharap pembiayan non-perbankan dalam negeri mampu memenuhi angka yang ditargetkan dikarenakan hingga sekarang, realisasi dari program privatisasi dan restrukturisasi pada masa lalu masih belum menunjukkan hasil yang berarti. Alhasil, harapan besar untuk menutup defisit tertumpu pada pembiayaan alias utang luar negeri.

Jika dihitung melalui kurs Rp 8000 per US dollar, maka jumlah pinjaman yang diperoleh dari CGI adalah sebesar Rp 38 triliun atau Rp 42.4 triliun jika ditambah dengan jumlah hibah. Pinjaman tersebut berasal dari Jepang (US$ 1,664 miliar), Bank Pembangunan Asia (US$ 1,3 miliar), Bank Dunia (US$ 1,2 miliar), Amerika Serikat (US$ 270 juta) dan sisanya dari Belanda. Namun sebenarnya, pinjaman yang didapat hanyalah berkisar antara US$ 500 - US$ 600 juta. Sedangkan sisanya berupa carry over atau pengalihan pinjaman tahun lalu dari komitmen CGI sebelumnya yang belum dicairkan. Jumlah tersebut diperkirakan bahkan akan bertambah lagi, mengingat masih banyak pendonor yang memiliki komitmen untuk memberikan pinjaman kepada Indonesia.

Dengan demikian, total utang yang dimiliki Indonesia berjumlah lebih kurang US$ 149.2 miliar, yang meliputi utang pemerintah (perbankan dan non-perbankan) sebesar US$ 80 miliar dan utang swasta (PMA, PMDN dan BUMN) sebesar US$ 69.2 miliar. Berdasarkan catatan Bank Dunia, jumlah utang tersebut kini membengkak dari 23 persen sebelum krisis menjadi 94 persen dari GDP setelah krisis.

Dengan `limpahan' dana tersebut, sekilas dapat dipastikan bahwa target pinjaman untuk menutup defisit anggaran akan melalui pembiayaan luar negeri sebesar Rp 20.12 triliun akan tercukupi bahkan terlampaui. Namun jika mau cermati lebih lanjut, yang sebetulnya terjadi adalah gali lubang tutup lubang. Sebab, dalam RAPBN 2001 atau sekarang menjadi Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) 2001, pos yang dianggarkan untuk membayar bunga utang mencapai Rp 77.40 triliun, dengan rincian Rp 55.79 triliun untuk dalam negeri (obligasi) dan Rp 21.60 triliun untuk luar negeri. Bila bunga utang luar negeri tersebut dijumlahkan dengan cicilan pokok pinjaman sebesar Rp 15.88 triliun, lalu apa yang kita dapat ?

Menjadi jelas, telah terjadi net distransfer dalam penerimaan dan pembayaran utang luar negeri dimana jumlah pembayaran kewajiban bunga dan cicilan utang melebihi jumlah penerimaan. Tambahan utang tak berarti apa-apa lagi selain beban utang yang semakin berat dan menumpuk. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, pinjaman yang didapat dari CGI tidak semuanya berbunga lunak alias komersial. Dari pinjaman sebesar US$ 1,2 miliar dari Bank Dunia, lebih dari separonya adalah pinjaman berbunga 6 persen - 7.5 persen per tahun dengan jatah waktu pengembalian 20 tahun dan masa tenggang 5 tahun.

Semua itu belum ditambah kemungkinan bahwa pinjaman yang kita peroleh tidak dapat secara optimal dipergunakan karena perilaku oknum yang korup. Belum lagi kasus-kasus korupsi dan mark-up yang lain selesai, baru saja kita mendengar pengakuan Dirut PT (Persero) PLN Kuntoro Mangkusubroto bahwa telah terjadi mark-up proyek jaringan transmisi listrik di Tasikmalaya dan Kediri senilai Rp 729,189 milyar.

Debt Trap
Dengan melihat sekilas gambaran tersebut, bisa kita rasakan beratnya beban yang harus kita tanggung baik pada masa-masa sekarang maupun di masa-masa yang akan datang. Dalam satu tahun ke depan ini, total pembayaran bunga, subsidi dan pembayaran gaji saja telah menyedot hampir 80 persen penerimaan pemerintah. Hal ini diperparah dengan pengeluaran pembangunan yang hanya berjumlah 2.4 persen terhadap PDB sehingga dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sulit untuk diwujudkan. Sedangkan di masa-masa selanjutnya, berbagai tekanan juga akan terus bertambah, terutama menyangkut pembayaran utang luar negeri.

Pada tahun 2002, pinjaman IMF yang dipergunakan untuk menopang APBN dan cadangan devisa serta obligasi pemerintah program rekapitalisasi perbankan sebesar Rp 640 triliun akan jatuh tempo. Dan ibarat bola salju, beban ini akan terus membesar di tahun 2003.

Studi Ketenagakerjaan dan Pembangunan (CLDS) mencatat bahwa total beban utang yang harus ditanggung pemerintah pada saat itu sangat besar, yaitu sebesar Rp 178.7 triliun. Jumlah tersebut meliputi cicilan utang luar negeri (US$ 6,0 miliar), pengembalian dana krisis dari IMF dan Bank Dunia (US$ 4,3 miliar), pembayaran bunga obligasi (Rp 70 triliun) serta pembayaran obligasi jatuh tempo (Rp 21.2 triliun) (Suara Merdeka, 10 Oktober 2000). Hal ini belum ditambah dengan kewajiban untuk menyetor kembali utang-utang dari Paris Club dan London Club yang sebelumnya telah di-rescheduling.

Jika benar demikian, maka bisa jadi kita akan mengalami kembali krisis multidimensi yang bahkan sampai kini masih belum terselesaikan. Bahkan Bank Dunia sendiri memperingatkan bahwa sebagai negara yang masuk dalam kelompok pengutang terbesar di dunia, utang Indonesia dinilai sudah berada pada level yang tidak sustainable. Dan pada saatnya nanti, perekonomian kita diperkirakan tidak akan mampu menopangnya lagi karena sudah terjebak dalam pusaran arus utang (debt trap).

Di saat itulah, orang kembali berebut dollar. Di saat itulah, lembaga dan negara-negara asing kembali menjadi pahlawan dan penentu semua kebijakan di negeri ini. Utang bukan lagi membawa kemakmuran, namun justru membawa penderitaan dan kemiskinan. Sebab, apalagi yang harus dipertahankan, ketika semua harus dipergunakan untuk membayar utang ?

Sederetan masalah akibat kegemaran pemerintah kita memperoleh utang memang harus diakhiri. Apa pun yang terjadi, harus disadari bahwa tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Berapapun jumlah utang atau pinjaman -- kendati berbunga nol persen -- yang diberikan negara atau lembaga-lembaga donor, hampir pasti memiliki kepentingan di dalamnya. Bukankah negara-negara yang masuk dalam CGI juga memiliki banyak investasi dan pasar yang harus terus dipertahankan keberadaannya di Indonesia ?

Dengan melihat semua akibat yang bakal muncul, sudah semestinya kita merubah paradigma utang dan mencari alternatif solusinya. Jalan yang barangkali sangat ekstrim adalah meminta debt relief atau penghapusan utang dengan alasan utang-utang yang selama ini diperoleh tidak banyak membawa manfaat akibat terlalu banyak dikorupsi (odious debt). Jika hal tersebut tidak memungkinkan, pemerintah harus berupaya melakukan moratorium debt atau meminta pembekuan pembayaran utang dalam jangka waktu tertentu, dan bukan upaya rescheduling seperti yang sudah-sudah.

Disamping mengupayakan kedua cara tersebut, sudah saatnya kita melakukan pembangunan dengan hasil keringat sendiri. Artinya, jika upaya penghapusan atau pembekuan pembayaran utang berhasil dilakukan, pemerintah harus melakukan program-program pembangunan melalui dana yang diperoleh dari pendapatan negara sendiri melalui APBN (pajak). Secara teoritis, dengan asumsi bahwa bantuan luar negeri sama dengan nol, maka penerimaan pajak (migas dan non-migas) dalam APBN memang harus ditingkatkan.

Dengan pertimbangan bahwa rasio pajak kita masih di bawah negara-negara tetangga, ada baiknya pemerintah segera meningkatkan pendapatan pajak sebagai pengganti ketergantungan kita terhadap utang luar negeri. Dalam jangka pendek, program ini barangkali akan terasa berat. Namun dalam jangka panjang akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan kita terhadap utang luar negeri. Sehingga pajak yang dibayar oleh rakyat, benar-benar dapat dipergunakan untuk meningkatkan kemakmuran, bukan lagi untuk membayar utang. Bukankah satu rupiah milik sendiri lebih baik daripada seribu rupiah hasil berhutang?