January 26, 2006

Perlukah Obligasi Daerah ?

dipublikasikan di Suara Merdeka, 16 Mei 2005

Kebutuhan pembiayaan pembangunan daerah yang semakin meningkat di tengah keterbatasan sumber pembiayaan dalam negeri yang berasal dari pemerintah pusat mau tidak mau harus membuat pemerintah daerah untuk mencari alternatif sumber pembiayaan lain.

Beberapa alternatif yang bisa dilakukan daerah untuk menambah pembiayaan pembangunan selain dengan melalui pinjaman kepada pemerintah pusat diantaranya adalah melalui pinjaman kepada luar negeri, badan-badan internasional atau melalui penerbitan obligasi daerah.

Salah satu wacana yang saat ini sedang mengemuka adalah adanya keinginan beberapa pemerintah daerah termasuk Pemprov Jawa Tengah untuk menggunakan obligasi daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

Pertanyaan yang kemudian patut kita gagas adalah perlukan pemerintah daerah menerbitkan obligasi daerah dan mampukah obligasi ini menjadi alternatif pembiayan daerah ?

Otonomi dan Desentralisasi Fiskal
Salah satu tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mengurangi disparitas alokasi sumber pembiayaan pembangunan dan meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah. Makna dari kebijakan ini adalah terbukanya peluang bagi pemerintah daerah di Indonesia untuk melaksanakan serta membiayai sendiri kemajuan pembangunan di daerahnya masing-masing.

Bagi daerah yang kebutuhan belanja pembangunannya masih akan tergantung pada jumlah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diterima pada tahun anggaran tertentu, otonomi daerah haruslah disikapi dengan sangat hati-hati karena bisa jadi tidak akan menjadi peluang, namun justru bisa menjadi bumerang yang mematikan.

Ini bisa terjadi karena pendanaan pembangunan daerah yang selama ini bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (Revenue sharing, DAU, DAK) dan lain-lain pendapatan masih belum bisa memberikan kontribusi yang cukup berarti.

Kondisi ini bisa dilihat di kabupaten atau kota yang merupakan ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah, dimana sumber penerimaan terbesar berasal dari Dana Perimbangan sebesar 86 persen dan hanya 7 persen dari PAD (Usui dan Alisjahbana, 2003). Dalam komponen Dana Perimbangan, DAU merupakan komponen yang paling dominan karena sekitar 45 persen pemerintah kabupaten/ kota di Indonesia masih menggantungkan lebih dari 80 persen pendanaan APBD dari DAU. Di lain pihak, hanya ada sekitar 4 persen kabupaten/ kota yang DAU-nya hanya menutupi kurang dari 10 persen APBD (Bambang Brodjonegoro, 2003).

Ironisnya, sebagian besar penerimaan tersebut dipergunakan untuk membayar keperluan rutin seperti gaji pegawai sehingga alokasi untuk pembiayaan pembangunan bisa dikatakan relatif kecil. Hampir di setiap daerah porsi belanja aparatur mencapai 60 persen sampai delapan puluh persen, sedangkan porsi belanja untuk pembangunan tidak lebih dari 25 persen.

Bagi daerah yang tergolong kaya dengan sumber daya alam, alternatif tambahan pembiayaan pembangunannya barangkali tidak terlalu menjadi persoalan karena mereka dapat menggunakan dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam (BHSDA) terutama untuk minyak dan gas bumi serta hasil perikanan. Namun bagi daerah-daerah yang tergolong pas-pasan atau minus sumber daya alamnya, alternatif sumber pembiayaan pembangunan boleh dikatakan hanya akan dilakukan melalui cara-cara yang tidak ‘populis’ bak memakan buah simalakama. Sebagai contoh, peningkatan sumber pendanaan melalui PAD dengan mengintensifkan dan mengekstensifkan pajak dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam UU 34/2000 justru berpotensi menghambat investasi di daerah tersebut, bahkan tidak tertutup kemungkinan akan banyak perusahaan yang akan tutup dan keluar dari daerah tersebut.

Dengan begitu, skema BHSDA nampaknya kurang bisa diandalkan bagi pendanaan daerah karena hanya hanya ada 1 persen pemerintah kabupaten/ kota di Indonesia yang memiliki BHSDA lebih dari 50 persen APBD dan hanya sekitar 5 persen yang memiliki BHSDA lebih dari 30 persen APBD. Dengan kata lain, 80 persen lebih daerah tidak mungkin mengandalkan penerimaan dari sumberdaya alamnya.

Mengandalkan laba dari perusahaan milik daerah sepertinya juga tidak memiliki banyak harapan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan daerah lebih banyak mengalami kerugian ketimbang menghasilkan keuntungan yang disetor ke APBD. PDAM merupakan contoh yang paling menonjol, dimana perusahaan ini umumnya menderita kerugian kendati memiliki bahan baku yang sangat murah dan hak memonopoli pasar.

Dengan melihat fenomena tersebut, bisa disimpulkan bahwa ketergantungan daerah yang masih sangat besar terhadap dana perimbangan memberi arti bahwa desentralisasi yang terjadi sekarang ini bukanlah desentralisasi sumber dan kewenangan penerimaaan, namun desentralisasi yang bergantung pada transfer pemerintah pusat ke daerah.
Karena itu, perlu dipikirkan alternatif pendanaan pembangunan dan pengembangan daerah dengan menggali dana di luar sumber penerimaan yang telah ada. Sebab, kecilnya anggaran pembangunan akan membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terabaikan akibat kurangnya sarana dan prasarana yang memadai.

Obligasi Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah nampaknya memberikan jalan bagi daerah untuk mencari alternatif pendanaan bagi pembangunan dan pengembangan daerah melalui penerbitan obligasi daerah.

Bagi daerah-daerah yang masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap dana perimbangan, PAD yang masih kecil dengan sumberdaya alam yang pas-pasan serta perusahaan daerah yang masih merugi, penerbitan obligasi daerah sepertinya bisa menjadi alternatif pembiayaan pembangunan.

Perlunya obligasi daerah sebagai sumber pendanaan untuk pembangunan dan pengembangan daerah setidak-tidaknya ada tiga hal (Ardi Hamzah, 2005) :
Pertama, kebutuhan daerah yang sudah sangat mendesak terhadap pencarian sumber-sumber pendanaan alternatif diluar pendanaan dari ketiga sumber, yaitu PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan. Pendanaan yang bersumber dari ketiga hal tersebut untuk pembangunan dan pengembangan daerah dapat dikatakan relatif kurang mencukupi atau mempercepat pembangunan dan pengembangan di daerah;
Kedua, selama ini banyak perusahaan sekuritas dan investment banking yang secara agresif mendekati pemda dan menawarkan berbagai skema pendanaan. Peluang ini perlu ditangkap secara cepat dan cermat dengan memperhatikan segala keuntungan dan manfaat serta risiko dari peluang tersebut.
Ketiga, wacana adanya obligasi daerah sudah memancing minat beberapa investor, baik domestik maupun asing yang cukup tinggi terhadap pengembangan infrastruktur di daerah.

Jika pemerintah daerah menjadikan obligasi daerah sebagai suatu alternatif, maka setidak-tidaknya ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian yaitu aspek regulasi dan aspek kelayakan. Aspek regulasi, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Pasar Modal. Aspek kelayakan menyangkut layak atau tidak obligasi tersebut diterbitkan. Diperlukan adanya lembaga pemeringkat yang bisa menjadi acuan penilaian apakah obligasi daerah yang diterbitkan benar-benar layak dipilih sebagai instrumen investasi oleh investor. Selain itu, peringkat obligasi daerah juga bisa memengaruhi peringkat surat utang negara (SUN). Jika obligasi daerah default, maka peringkat SUN juga bisa jatuh.

Melihat kondisi yang ada, bisa dikatakan bahwa dua aspek penting inilah yang nampaknya masih menjadi ‘penghalang’ penerbitan obligasi daerah. Sebab, penerbitan obligasi mau tidak mau harus mengacu kepada UU Pasar Modal. Padahal, UU Pasar Modal sampai saat ini belum memasukkan adanya aturan mengenai penerbitan obligasi daerah. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 terdapat pasal yang saling bertolak-belakang yaitu Pasal 58 Ayat 1 dan Pasal 59. Di satu sisi dinyatakan bahwa pemerintah bisa menyetujui penerbitan obligasi namun di sisi yang lain pemerintah menyatakan tidak menjamin obligasi daerah.

Persoalan lainnya adalah pembuatan rating obligasi yang memerlukan adanya laporan keuangan yang memenuhi standar laporan keuangan. Kapasitas manajemen keuangan pemda juga harus ditingkatkan terkait dalam mengambil keputusan pembiayaan, persiapan penawaran ke publik yang membutuhkan keterbukaan informasi dan sistem akuntansi, serta pengelolaan pascapenerbitan. Pertanyaannya, maukah pemerintah daerah membuat laporan keuangan daerah dengan kondisi yang sebenarnya ?

Dengan kondisi seperti sekarang ini, penerbitan obligasi daerah nampaknya belum bisa dilakukan karena masih diperlukan waktu untuk melakukan revisi terhadap UU Pasar Modal dan masih perlunya kesungguhan pemerintah untuk mau menjamin penerbitan obligasi ini. Pemerintah pusat nampaknya juga masih belum sepenuhnya memberikan ijin untuk segera menerbitan obligasi daerah dengan pertimbangan rasio utang nasional yang jumlahnya masih cukup tinggi. Belajar dari Meksiko, memang tidak ada salahnya untuk tetap berhati-hati menyikapi penerbitan obligasi daerah karena default-nya obligasi daerah bisa membuat perekonomian nasional terkena imbasnya.
Penerbitan obligasi dengan mengabaikan regulasi yang masih tumpang tindih dan tiadanya jaminan yang diberikan jelas tidak akan membuat calon investor tertarik untuk membeli obligasi daerah karena faktor risiko yang cukup tinggi. Bisa dikategorikan tinggi karena obligasi daerah disamping memiliki risiko gagal bayar yang diakibatkan oleh korupsi dan kesalahan tata kelola juga karena tidak dijamin pemerintah pusat.

Kendati demikian, wacana penerbitan obligasi daerah yang masih terhalang oleh banyak hal itu bukan berarti pemerintah daerah kemudian tidak melakukan apa-apa. Sembari menunggu kepastian regulasi dan lampu hijau pemerintah pusat, tidak ada salahnya pemerintah daerah mulai mengkaji hal-hal yang perlu dipersiapkan dengan pihak-pihak terkait misalnya dengan melakukan survey tentang potensi pasar obligasi daerah kepada para calon investor.

** ditulis bersama dengan H. Djoko Sudantoko, mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah