January 26, 2006

Menyoal Agenda Penghapusan Utang

dipublikasikan di kolom Opinion, www.lippostar.com, 10 /8/ 2001

Utang luar negeri kembali ramai menjadi bahan perbincangan semenjak Australia dan Bank Dunia berniat melakukan kajian bersama terhadap struktur dan manajemen utang luar negeri (ULN) Indonesia. Kajian tersebut direncanakan akan menelaah besar ULN yang telah di-tilep pada masa rezim orde baru serta penyesuaian pembayaran utang di luar yang sudah disepakati Paris Club guna meringankan beban pemerintahan baru Megawati-Hamzah Haz ke depan.

Terlepas dari adanya motif-motif tertentu di balik usulan Australia tersebut, agenda kajian ini nampaknya merupakan sebuah momen yang pas pada saat pemerintahan baru mulai akan menjalankan tugasnya pada tahun-tahun mendatang. Sebab, jumlah total ULN (pemerintah dan swasta) sudah sedemikian besarnya yang hingga Desember tahun 2000 lalu sudah mencapai US$ 140 miliar sehingga keberadaan ULN akan sangat berpengaruh terhadap APBN 2001. Besarnya ULN ini sudah pasti akan mempersempit gerak APBN karena untuk tahun ini saja jumlah total ULN Indonesia yang akan jatuh tempo mencapai US$ 26,51 miliar, terdiri atas utang pemerintah US$ 7,63 miliar dan swasta US$ 18,88 miliar. Dari total utang tersebut, besarnya pokok utang mencapai US$19,31miliar dan bunga US$7,20 miliar.

Pendapat yang mengemuka akhir-akhir ini banyak mengusulkan agar dilakukan penghapusan terhadap ULN yang dimiliki Indonesia melalui doktrin odious debt. Doktrin odious debt -- atau utang yang `menjijikkan'-- juga pernah diusulkan diantaranya oleh Rizal Ramli saat masih menjadi pengamat ekonomi serta Theo F. Toemion. Mengapa melalui odious debt ? Doktrin odious debt ditempuh karena besarnya beban utang yang harus ditanggung pada saat sekarang dan nanti dianggap merupakan warisan utang pada masa lalu yang lebih banyak diselewengkan dan disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu ketimbang dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Menurut Rizal Ramli kala itu, Indonesia sangat layak dan perlu menyatakan diri untuk mengemplang pembayaran utang karena lembaga dan negara donor juga ikut berperan secara tidak langsung atas munculnya beban utang.

Cuplikan doktrin odious debt yang disusun oleh Alexander Nahum Sack yang kemudian menjadi hukum internasional pada tahun 1923 adalah sebagai berikut : jika sebuah pemerintahan lalim menarik utang bukan untuk kepentingan negara, tetapi memperkuat rezimnya yang lalim, menindas warga yang menentangnya, dan lainnya, utang itu berstatus odious bagi penduduk negara. Utang itu bukanlah kewajiban yang harus dibayar, tetapi kewajiban rezim itu sendiri, utang pribadi kekuasaan yang membuatnya, yang secara konsekuen utang itu juga batal seiring dengan jatuhnya kekuasaan. Odious debt yang jika digunakan untuk berbagai tujuan --dan untuk diketahui para kreditor --bertentangan dengan kepentingan nasional, tidak memenuhi persyaratan untuk dinyatakan sebagai utang negara.... Para kreditor dengan sendirinya dinyatakan telah turut melakukan hal bertentangan dengan kepentingan rakyat kebanyakan. Dengan demikian kreditor diasumsikan tak berharap rakyat bisa melepaskan diri dari rezim lalim, maka utang yang diberikan adalah odious dan harus dinyatakan sebagai utang pribadi dari kekuasaan.

Jika kita simak isi doktrin tersebut, nampaknya usulan untuk melakukan penghapusan ULN yang begitu besar dan membebani rakyat selama ini merupakan sebuah hal yang masuk akal. Namun segampang itukah cara yang dapat ditempuh untuk menghapus utang ? Lantas argumentasi apakah yang masuk akal dan dapat kita ajukan agar upaya penghapusan utang melalui doktrin odious debt dapat dibenarkan ? Jika upaya ini benar-benar bisa ditempuh, berapa besar jumlah ULN yang benar-benar dapat dihapus ?

Deretan pertanyaan semacam inilah yang pada awalnya harus kita tanya dan jawab sendiri, karena upaya penghapusan ULN tidak hanya berkaitan dengan nominal utang itu sendiri, namun juga menyangkut eksistensi, kredibilitas dan harga diri sebuah bangsa.

Pro-Kontra ULN
Perdebatan seputar perlu-tidak serta positif-negatifnya dampak yang ditimbulkan dari ULN terhadap pembangunan negara-negara berkembang sebenarnya sudah semenjak lama menjadi bahan kajian para ekonom terkemuka dunia.

Bagi para ekonom yang pro-utang, ULN dianggap memiliki dampak positif terhadap kemajuan suatu negara sehingga negara-negara sedang berkembang dapat memanfaatkan utang tersebut guna memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori ekonomi yang mendukung hal ini adalah teori Harrod-Domar yang berbicara mengenai penggunaan bantuan luar negeri guna membiayai pembangunan suatu negara. Dan memang, terapi utang terbukti mujarab diterapkan pada saat Amerika Serikat mengucurkan dana bantuan melalui Marshall Plan kepada negara-negara di Eropa Barat yang porak-poranda akibat Perang Dunia II. Di Asia, kita juga pernah menyaksikan kemajuan yang diperoleh Taiwan dan Korea Selatan yang pandai memanfaatkan fasilitas utang hingga bisa memperoleh predikat newly industrialized countries (NICs).

Keberhasilan Marshall Plan kemudian dijadikan model bagi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan utang guna membiayai pembangunan. Argumentasi yang mendasari penggunaan model ini seperti diungkapkan oleh Chenery dan Carter (1973) diantaranya adalah bahwa modal asing yang diberikan kepada negara-negara berkembang tersebut dapat dimanfaatkan untuk memacu investasi yang pada gilirannya akan membantu pertumbuhan ekonomi. Dan pada saatnya nanti, kebutuhan akan modal asing tersebut akan semakin berkurang sejalan dengan perubahan struktural yang terjadi.

Model ini nyata-nyata diadopsi khususnya oleh negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Latin yang nampaknya kemudian terus terbuai oleh kenikmatan berutang dengan terus memperbesar jumlah utang yang diperoleh serta menjadikan ULN ini sebagai andalan terbesar atau sumber paling utama pembiayaan pembangunan.

Sedangkan bagi mereka yang kontra terhadap utang berpendapat bahwa penggunaan ULN dalam pembiayaan pembangunan akan memberi dampak negatif terhadap pembangunan. Bagi penganut paham Strukturalis dan Neo Strukturalis, penggunaan modal serta bantuan asing dalam pembiayaan pembangunan dianggap akan menciptakan sebuah ketergantungan (dependency) negara-negara debitur (negara berkembang) terhadap negara-negara donor atau kreditur yang nota bene adalah negara-negara maju.

Mereka yang tergabung dalam penganut teori ketergantungan seperti Christopher Chase-Dunn, Richard Robinson dan Volker Bornschier berpendapat bahwa ketergantungan yang semakin besar terhadap penanaman modal asing dan bantuan luar negeri akan memberi dampak negatif yang juga semakin besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hasil riset mereka juga menunjukkan bahwa penanaman modal asing dan bantuan luar negeri akan memberi dampak : (i) timbulnya disparitas atau kesenjangan yang semakin melebar dalam distribusi pendapatan masyarakat, (ii) dapat memperbesar pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, namun (iii), dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi ini akan semakin berkurang, dan (iv), memberi akibat negatif baik untuk negara kaya maupun negara miskin.

Kendati terdapat bukti bahwa utang, penanaman modal atau bantuan asing bisa memberi dampak positif terhadap pembangunan suatu negara seperti kesuksesan Marshall Plan dalam membangun Eropa Barat, namun hasil-hasil studi empirik serta kenyataan yang sebenarnya terjadi lebih banyak memberi simpulan dan realitas bahwa utang, penanaman modal atau bantuan asing justru memberi dampak negatif terhadap pembangunan suatu negara.

Apa yang dialami Meksiko, Argentina, Brazil serta Thailand adalah sedikit contoh bahwa model yang diadopsi dari keberhasilan program Marshall Plan pun tidak seluruhnya bisa memberikan dampak positif. Dalam kenyataannya, negara-negara ini justru semakin terlilit dalam pusaran arus utang.

Debt Trap
Ironisnya, pusaran arus utang itu juga ikut melilit kita. Bahkan, keadaan kita bisa dikatakan jauh lebih parah dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Meksiko, Argentina, Brazil dan Thailand. Kenyataan ini bisa dilihat dari besarnya prosentase total ULN terhadap total Produk Domestic Bruto (PDB) yang kian lama kian membesar. Jika pada tahun 2000 lalu pembayaran ULN yang ditanggung pemerintah masih berjumlah 91 persen dari PDB, maka untuk tahun 2001 ini jumlahnya sudah mencapai 110 persen dari PDB.

Besarnya beban utang yang harus ditanggung pemerintah (rakyat) ini dari tahun ke tahun terlihat akan semakin membebani perekonomian nasional. Studi Ketenagakerjaan dan Pembangunan (CLDS) mencatat bahwa total beban utang yang harus ditanggung pemerintah pada tahun 2003 menjadi sangat besar, yaitu sebesar Rp 178.7 triliun. Jumlah tersebut meliputi cicilan utang luar negeri (US$ 6,0 miliar), pengembalian dana krisis dari IMF dan Bank Dunia (US$ 4,3 miliar), pembayaran bunga obligasi (Rp 70 triliun) serta pembayaran obligasi jatuh tempo (Rp 21.2 triliun) (Suara Merdeka, 10 Oktober 2000). Hal ini belum ditambah dengan kewajiban untuk menyetor kembali utang-utang dari Paris Club dan London Club yang sebelumnya telah di-rescheduling.

Sebuah studi tentang ULN Indonesia yang dilakukan oleh Radelet (1995) menyimpulkan bahwa terdapat tiga skenario yang menyebabkan terjadinya negative external shock, yaitu (i) menurunnya laju pertumbuhan ekspor sebesar 4 persen, (ii) naiknya tingkat suku bunga sebesar 2 persen, dan (iii) apresiasi yen terhadap dollar sebesar 20 persen. Selain itu, Radelet juga memproyeksikan bahwa angka debt service ratio (DSR) akan meningkat sebesar 12 persen dari tahun 1993 menjadi 45 persen di tahun 1998.

Jika perkiraan diatas benar, maka besar kemungkinan kita akan mengalami krisis utang luar negeri paling parah dan kembali terjebak dalam krisis multidimensi yang bahkan sampai kini masih belum terselesaikan. Bank Dunia sendiri sebenarnya sudah memperingatkan bahwa sebagai negara yang masuk dalam kelompok pengutang terbesar di dunia, utang Indonesia dinilai sudah berada pada level yang tidak sustainable.

Eaton dan Taylor (1986) menyatakan bahwa suatu negara dikatakan mengalami krisis ULN manakala ketiga persyaratan berikut terpenuhi, yaitu (i) insolvent dalam jangka waktu yang panjang, (ii) illikuid, dan (iii) tidak mempunyai niatan untuk membayar. Selain itu, beberapa sinyal yang dapat dilihat dari suatu negara yang memiliki krisis utang adalah tertundanya pemberian pinjaman dari negara kreditur serta adanya kesediaan untuk memperpanjang masa jatuh tempo utang namun dengan syarat menaikkan tingkat bunga pinjaman.

Melihat besarnya jumlah utang beserta bunga yang harus dibayar di masa-masa yang akan datang, mudah ditebak bahwa sebenarnya kita memiliki potensi yang sangat besar untuk terjadinya krisis utang. Sebab, kita memang memiliki potensi untuk tidak sanggup membayar serta tidak memiliki dana yang dipergunakan untuk membayar utang pada saat jatuh tempo. Sedangkan niatan untuk me-ngemplang utang dapat dilihat dari pernyataan Rizal Ramli saat masih menjadi Menko Perekonomian yang mengajukan penghapusan utang melalui kompensasi penutupan sejumlah hak pengusahaan hutan (HPH) yang berada alam kekuasaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selain itu, sinyal krisis utang justru sudah terlihat dengan adanya penundaaan pinjaman dari IMF sebesar US$ 400 juta yang seharusnya sudah cair tahun lalu.

Odious Debt
Dengan melihat semua akibat negatif yang bakal muncul, memang sudah semestinya kita merubah paradigma utang dan mencari alternatif solusinya. Jalan yang bisa ditempuh memang bukan lagi melalui cara-cara konvensional semacam upaya rescheduling, namun harus dengan cara-cara kontroversial seperti usulan penghapusan utang dengan doktrin odious debt.

Beberapa hal yang bisa menjadi bahan argumentasi perlunya dilakukan upaya penghapusan utang melalui cara ini diantaranya adalah bahwa :

Pertama, Indonesia telah diperlakukan tidak adil oleh kelompok lembaga dan negara donor dalam hal penyelesaian utang luar negeri. Pernyataan ini diungkapkan Jurgen Kaiser dari lembaga swadaya masyarakat Jubille 2000 (Kompas, 5 Juli 2000). Hal senada juga dinyatakan oleh sejumlah LSM anti utang dalam sidang Pre CGI di Indonesia 23-24 April 2001 lalu yang menyatakan bahwa lembaga donor (CGI) ternyata bukan solusi, melainkan bagian dari persoalan itu sendiri. Perjalanan IGGI dan CGI selama 32 tahun dibawah Soeharto merupakan indikasi kuat tentang sifat hubungan yang tidak setara, yakni hubungan dominasi oleh kreditor atas debitor.

Kedua, Indonesia telah masuk dalam kategori negara miskin. Dengan pendapatan per kapita sekitar 300 dollar AS, Indonesia layak mendapatkan pengampunan utang (debt forgiveness) atau pengurangan beban utang (debt relief). Dan kriteria inilah yang biasanya membuat Paris Club bersedia memberikan pengampunan utang. Bahkan Bank Dunia sendiri juga sudah memasukkan Indonesia ke dalam kelompok Severely Indebted and Lower Incomes Countries (SILIC), negara miskin yang terjerat utang dan layak mengajukan pembebasan utang. Menurut Jubille 2000, Indonesia seharusnya mendapatkan fasilitas penghapusan utang luar negeri karena termasuk dalam kelompok 32 negara miskin pengutang berat yang berpendapatan sangat rendah (SILICs/ Severely Indebted Low Income and Poor Countries). SILICs adalah negara ber-GNP (Produk Nasional Bruto) di bawah 760 dollar AS per tahun, sementara GNP Indonesia saat ini hanya 680 dollar AS per tahun.

Ketiga, besar utang yang sekarang dan esok membebani perekonomian dan kehidupan rakyat adalah hasil dari warisan utang masa lampau (orde baru) yang hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok masyarakat, dimana utang hanya menjadi ajang korupsi. Disinyalir, kebocoran penggunaan utang ini mencapai 30 persen dimana Bank Dunia sendiri dan pemimpin para donor mengakui kebocoran itu -- sesuatu yang justru tak pernah diakui pemerintah. Pernyataan ini pernah diungkap Mark Baird (Bank Dunia) dalam forum Indonesian Next yang mengaku bahwa mereka mengetahui adanya 30 persen utang yang hilang.

Lantas berapa besar utang yang layak untuk dihapuskan ? Menurut Jeffrey Winters, pemerintah Indonesia cukup membayar separo dari utang yang disalahgunakan selama pemerintahan Orde Baru. Utang yang jumlahnya diperkirakan US$ 30 miliar itu berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara donor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI). Guru besar dari Northwestern University itu mengatakan, lembaga dan negara donor telah mengakui adanya penyalahgunaan utang luar negeri Indonesia minimal 30 persen. Dengan demikian, beban pembayaran utang cukup ditanggung 50 persen oleh pemerintah dan rakyat Indonesia. Sejumlah LSM antiutang juga sudah lama menekan pemerintah untuk meminta penghapusan dengan target 30 persen atau sekitar US$ 43,6 milyar. Angka tersebut dipatok karena negara donor dianggap ikut bertanggung jawab karena membiarkan kebocoran penggunaan utang yang mencapai 30 persen.

Entah berapa jumlah utang yang memiliki peluang untuk direduksi, namun harus diingat bahwa upaya reduksi utang bisa membuat negara tersebut dijauhi oleh investor seperti yang dialami Peru (1985) dan Brasil (1987), meski hal ini tidak dialami oleh Jerman(1953) yang mendapat reduksi utang sebesar 50 persen.

Dengan demikian, upaya kearah penghapusan utang sebenarnya tergantung kepada bargaining position pemerintah terhadap lembaga dan negara-negara donor. Dan sebenarnya, bargaining position yang dimiliki pemerintah terhadap negara atau lembaga donor tersebut tidak lemah, mengingat IMF dan lembaga serta negara donor lain juga memiliki `kepentingan' terhadap Indonesia. Bukankah negara-negara pendonor juga memiliki banyak investasi dan pasar yang harus terus dipertahankan keberadaannya di Indonesia ? Selain itu, Indonesia juga pernah mendapat reduksi utang sebesar 57 persen dari kreditur Paris Club pada tahun 1970. Hanya saja perlu kehati-hatian, karena masih banyak mobil-mobil mewah bersliweran di jalan, manakala kita memohon ampunan utang.