January 26, 2006

PENDIDIKAN YANG (SUNGGUH) MENGENASKAN

Ibadah puasa yang hari-hari ini sedang dijalani ternyata tidak hanya dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia, namun juga dilakukan oleh dunia pendidikan nasional kita. Kendati puasa tak hanya sekedar bermakna menahan lapar dan haus, ritual ini ternyata harus dilakukan oleh dunia pendidikan dalam waktu yang cukup lama. Ia harus benar-benar menjalani ‘puasa’ dikarenakan minimnya anggaran yang diperlukan untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa.

Harapan untuk bisa lebih mencerdaskan generasi penerus bangsa ini sirna tatkala anggaran pendidikan yang dalam RAPBN 2001 sebelumnya dipatok sebesar Rp 11,3 trilyun hanya mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp 13,945 trilyun. Kenaikan ini terdapat pada anggaran pembangunan sector pendidikan yang naik dari Rp 7,3 trilyun menjadi Rp 9,7 trilyun, sedangkan pos anggaran rutin tetap sebesar Rp 4,24 trilyun.

Meskipun angka ini sedikit lebih besar dibanding APBN 2000 dan RAPBN 2001, kenyatan ini benar-benar menjadi sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan bagi kita semua. Sedemikian memprihatinkan dan mengenaskan dikarenakan angka sebesar Rp 13, 945 trilyun dapat dikatakan tak memiliki makna apa-apa bagi proses pencerdasan bangsa ini. Makna yang dapat diperoleh barangkali hanyalah kenyataan jika dibandingkan dengan total APBN 2001 sebesar Rp 315, 756 trilyun, dunia pendidikan hanya memperoleh jatah 4,4 persen.

Minimnya anggaran tersebut menunjukkan bahwa kita ternyata benar-benar menomor sekiankan dunia pendidikan. Benar bahwa kita memang sedang mengalami krisis multidimensi yang entah kapan akan berakhir, namun bukan semestinya menempatkan dunia pendidikan menjadi prioritas paling belakang.

Sejarah yang mencatat bahwa kemajuan sebuah bangsa bergantung pada mau tidaknya bangsa itu untuk terus belajar. Bangkitnya Jepang setelah kejatuhan bom atom dibuktikan oleh semangat masyarakat Jepang dalam belajar memperdalam teknologi. Majunya tetangga dekat kita Malaysia didasari oleh kesadaran pemerintah sana bahwa surplus perekonomian yang pernah dialami beberapa tahun silam tidaklah dipergunakan untuk membangun bermacam mega proyek seperti yang dilakukan pemerintah kita semasa orde lama pada saat itu, namun dipergunakan untuk menyekolahkan generasi-generasi mudanya ke berbagai negara untuk belajar.

Entah apa yang menjadi penyebab hingga kita tidak pernah mau belajar dari kemajuan yang dialami banyak negara. Kita justru terus menorehkan sejarah hanya dengan membayar utang, mega proyek, skandal, KKN dan persoalan-persoalan lain yang jauh dari niatan untuk memikirkan nasib bangsa ini ke depan. Lantas akan menjadi macam apakah masa depan bangsa kita mendatang ? Ataukah kita harus kembali menjadi negara terbelakang ?

Sederetan pertanyaan lain bernada kekhawatiran semacam itu akan terus menjadi pertanyaan yang barangkali tidak akan terjawab bila kita kembali melihat alokasi anggaran pendidikan kita. Dengan asumsi gross national product (GNP) sebesar 225 milyar dollar AS dan kurs rupiah Rp 7.800 per dollar, maka anggaran pendidikan hanya akan bernilai 0,8 persen dari GNP.

Minimnya anggaran ini mau tak mau menjadikan kita semua bertanya-tanya mau kearah mana sebenarnya bangsa ini dikemudikan. Jangankan masyarakat kebanyakan, para pakar pendidikan yang lebih mengetahui perihal ini juga memperlihatkan sikap pesimistis. Dengan alokasi anggaran yang tidak akan seimbang bila dibandingkan dengan jumlah utang luar negeri yang mesti kita bayar, bisa jadi negara kita akan benar-benar menjadi negara paling terbelakang di kemudian hari..

Kekhawatiran semacam ini bukannya tanpa dasar bila kita bandingkan alokasi anggaran pendidikan kita dengan negara lain bahkan dengan negara yang paling terbelakang sekalipun. Rata-rata negara maju mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 5 persen , negara berkembang 4 persen dan negara yang tergolong masih terbelakang sebesar 3,5 persen dari GNP. Tetangga-tetangga dekat kita seperti Singapura, Thailand dan Malaysia masing-masing mengalokasikan anggaran sebesar 3 persen, 4 persen dan 5 persen dari GNP. Taiwan bahkan menganggarkan 15 persen lebih anggaran pendidikan mereka terhadap GNP.

Hasil survei pengukuran dan penilaian pendidikan The Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMMS-R) yang diselenggarakan IEA pada tahun 1999 bisa menjadi dasar kekhawatiran bahwa kelak kita akan tertinggal oleh negara-negara lain. Survei yang dilakukan terhadap anak berusia 13 tahun di 38 negara membuktikan bahwa kemampuan anak Indonesia dalam bidang matematika dan IPA menempati urutan ke-4 dan ke-6 dari belakang. Peringkat anak-anak didik kita kalah jauh dengan Malaysia, Thailand, Singapura dan Taiwan (Kompas, 8 Desember 2000).

Terlepas dari kebenaran penilaian dan parameter yang dipakai dalam melakukan penilaian tersebut, sedikit ilustrasi diatas nampaknya membuktikan riset Margaret Duronio dan Bruce A.Loesin (1991) yang membuktikan adanya korelasi positif antara besarnya anggaran pendidikan dengan kinerja pendidikan. Minimnya anggaran pendidikan kita dibandingkan dengan tetangga-tetangga dekat seperti Singapura, Malaysia dan Thailand misalnya, ternyata membuktikan hasil yang jauh tidak lebih baik dari ketiga negara tersebut.

Karena itulah sekali lagi, kekhawatiran bahwa pada saatnya nanti bangsa kita menjadi bangsa yang paling terbelakang dalam pendidikan bisa benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Indikasi kearah ini bisa dilihat dari :
pertama, minimnya alokasi anggaran pendidikan pada saat ini. Dengan anggaran pendidikan sebesar 0,8 persen dari GNP, negara kita menjadi negara yang mengalokasikan dana pendidikannya paling rendah di dunia. Jika riset Margaret Duroino dan Bruce A.Loesin benar-benar bisa menjadi paramater, bisa kita simpulkan sendiri apa yang akan terjadi bila alokasi anggaran pendidikan kita paling rendah di dunia;
kedua, rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan yang turun drastis semenjak krisis tahun 1997. Sebelum krisis, angka partisipasi kasar pendidikan dasar ada diatas 95 persen dan turun menjadi di bawah 70 persen pada tahun 1999. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya kesempatan generasi muda untuk dapat mengenyam pendidikan semenjak usia dini;
ketiga, dunia pendidikan tidak mendapat dukungan baik moral maupun material dari pemerintah. Hal ini diakui sendiri oleh pemerintah saat pembahasan RAPBN 2001 di DPR yang menyatakan bahwa sampai dengan saat ini pemerintah belum bisa mendukung anggaran pendidikan serta menunjukkan arah yang jelas kemana dunia pendidikan harus berjalan.

Kenyataan diatas memperlihatkan kepada kita bahwa adalah bukan sebuah omong kosong bagi dunia pendidikan kita untuk bisa bangkit dari kondisi yang sampai sekarang bahkan masih jauh dari ideal. Padahal sebenarnya, semua itu dapat diatasi andaikata pemerintah benar-benar memiliki education will dan kesadaran untuk mengembangkan dunia pendidikan kita. Ini dapat dilakukan misalnya dengan memprioritaskan anggaran pendidikan diatas program-program yang tak memiliki manfaat besar bagi pembangunan dalam jangka panjang Namun entah mengapa, kita lebih suka melawat ke negeri orang, membangun mega proyek, menalangi kredit macet atau membayar utang.

Maka tak ada pilihan lain, terkecuali kita benar-benar harus berjalan terseok-seok mengejar ketertinggalan, karena ongkos buat pintar menjadi lebih mahal.

Dipati Ukur, akhir 2000