January 26, 2006

Independensi BI : Drama Politik atau Akal Sehat ?

(dipublikasikan di kolom Opinion www.lippostar.com, 5 /12/2000)

DAHSYATNYA bencana alam yang datang beruntun melanda wilayah-wilayah di tanah air ternyata tidak membuat para pemimpin dan elite-elite politik surut langkah mengutak-atik rencana amandemen UU No. 23/ 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Semangat amandemen yang juga begitu dahsyat memberi kesan bahwa persoalan yang dihadapi sedemikian penting hingga membuat pemimpin dan elite-elite politik kita sudi melakukan maraton pembahasan amandemen UU tersebut dalam kurun waktu hanya sepuluh hari.


Seberapa pentingkah sebenarnya rencana tersebut harus dilakukan ? Apa dan kepada siapa manfaat bisa didapat ? Deretan pertanyaan lain semacam ini menyangkut upaya amandemen terhadap UU yang baru diberlakukan pada 17 Mei 1999 itu sepertinya masih sangat banyak mengingat banyaknya peristiwa dan kejadian yang menjadikan masyarakat bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dan melatarbelakangi dilakukannya amandemen tersebut.

Lantas amandemen macam apa yang sebenarnya kita butuhkan dan jalan keluar apa yang harus dilakukan ?
Bermula dari BLBI

Polemik yang terjadi di tubuh BI dapat dikatakan bermula dari BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), sebuah kucuran dana yang diberikan untuk membantu bank-bank yang kesulitan likuiditas akibat rush besar-besaran pada saat terjadi peristiwa likuidasi bank 16 November 1997.

Macetnya dana pengembalian BLBI sebesar Rp 144.5 triliun ternyata memberi dampak negatif yang begitu besar kepada BI. Hasil audit PricewaterhouseCoopers (PwC), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengungkap ketidakberesan dana BLBI semakin menambah BI menjadi obyek perseteruan. Pihak yang kontra-BI menyatakan bahwa kasus BLBI adalah kesalahan BI hingga lembaga ini harus dilikuidasi, sedangkan mereka yang pro-BI menganggap bahwa kasus BLBI bukanlah semata-mata urusan BI.

Ditengah ketidakjelasan penyelesaian kasus BLBI, Gubernur BI Syahril Sabirin harus menjadi penghuni rumah tahanan semenjak Juni lalu akibat tersandung skandal Bank Bali. Belum lagi persoalan status Syahril Sabirin sebagai tersangka selesai, Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda S Goeltom, Dono Iskandar, Achwan dan Burhanuddin Abdullah mengundurkan diri dari BI akibat tidak adanya dukungan politik dari pemerintah dan DPR kepada mereka.

Peristiwa inilah yang kemudian memunculkan upaya untuk meng-amandemen-kan UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Mundurnya jajaran pimpinan BI sekaligus status Syahril Sabirin yang tidak memungkinkan mereka memimpin lembaga ini dikhawatirkan akan mengundang banyak persoalan yang sangat krusial dan riskan. Pertanyaan menarik yang muncul disini adalah mengapa harus memakai amandemen ?

Blunder Amandemen
UU No.23/1999 Pasal 48 menyatakan bahwa anggota dewan gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan atau berhalangan tetap. Berbekal pasal ini Syahril Sabirin tidak bisa begitu saja digeser posisinya sebagai Gubernur BI, sebab ia belum terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. Selain itu ia juga tidak dalam keadaan berhalangan tetap, namun hanya berhalangan sementara sebagai tahanan rumah.

Dengan demikian, sesuai dengan Penjelasan Ayat 2 Pasal 37 UU No.23/1999 yang menyebutkan bahwa jika Gubernur BI berhalangan menjalankan tugasnya, tugas Gubernur BI diserahkan kepada Deputi Senior Gubernur BI, maka Anwar Nasution semestinya menggantikan tugas sebagai Gubernur BI.

Namun, upaya ini tak bisa dilakukan mengingat Anwar Nasution beserta empat Deputi yang lain telah mengundurkan diri. Dua Deputi lain yaitu Achjar Iljas dan Aulia Pohan juga tidak mungkin menggantikan posisi Anwar Nasution. Mereka terganjal Penjelasan Ayat 3 Pasal 37 dimana dijelaskan bahwa Deputi Gubernur BI dapat memimpin Dewan Gubernur BI, menggantikan Gubernur BI atau Deputi Senior Gubernur BI yang berhalangan. Mundurnya Anwar Nasution tidak termasuk dalam kategori berhalangan sesuai dengan pasal tersebut.

Dari sinilah persoalan kemudian menjadi blunder. Ditengah ketidakjelasan kasus dan status Syahril Sabirin yang belum terbuktikan dan tak bisa digantikan, BI sebagai lembaga yang amat vital jelas-jelas memerlukan komandan tak memiliki pimpinan yang dibenarkan menurut UU. Jalan satu-satunya yang tak memungkinkan posisi Syahril untuk diganti mau tak mau adalah melakukan amandemen atau perubahan UU No.23/1999 tersebut hingga UU yang baru memungkinkan posisi Syahril digantikan.

Dari sini jelas terlihat bahwa upaya amandemen yang dimaksud tak lain dan tak bukan adalah upaya untuk menggeser Syahril dari kursi gubernur BI. Namun sepertinya, pemerintah dan DPR punya alasan lain yang barangkali akan lebih dirasa rasional dan masuk akal untuk diterima publik, yaitu ikhwal independensi dan pertanggungjawaban (acountability) BI. .

Dalam kenyataannya, independensi yang dimiliki BI sesuai dengan UU No.23/1999 memang memiliki ketidakjelasan dalam hal mekanisme pertanggungjawaban. Maksudnya, tidak dijelaskan kemana BI harus mempertanggungjawabkan kinerjanya, apakah kepada pemerintah atau DPR. Hal ini dikhawatirkan pemerintah akan menjadikan BI seperti negara dalam negara.

Di sisi lain, amandemen BI seperti dikatakan Rizal Ramli dilakukan dalam upaya untuk melaksanakan ketiga pilar kebijakan moneter di BI dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang tepat serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat sejalan dengan kebutuhan stabilitas moneter dalam pemulihan ekonomi nasional

Jika demikian, mengapa baru sekarang dilakukan rencana perubahan terhadap UU No.23/1999 ? Padahal, UU No.23/1999 yang menggantikan UU No. 13.1968 ini baru diberlakukan 17 Mei 2000 lalu. Semestinya, kejelasan materi independensi dan accountability sudah ada dalam UU No.23/1999 terkecuali apabila perubahan UU tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga materi UU tidak lagi sesuai dengan kondisi jaman, seperti yang terjadi pada perubahan UU No.13/1968 menjadi UU No.23/1999.

Jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu akan terletak pada materi RUU yang ada. Dalam RUU yang diajukan, usulan yang diajukan diantaranya adalah :
  • Pasal 43 Ayat 2 : rapat dewan gubernur dapat dihadiri oleh satu orang atau lebih menteri yang mewakili pemerintah dengan hak bicara tanpa hak suara
  • Pasal 48 Ayat 1 : Anggota dewan gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan : (a) mengundurkan diri (b) terbukti melakukan tindak pidana kejahatan (c) kinerjanya dinilai oleh DPR tidak memadai (d) tidak hadir sehingga tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam jangka waktu selama 3 bulan berturut-turut (e) berhalangan tetap
  • Pasal 48 Ayat 2 : Penggantian anggota dewan gubernur sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
  • Pasal II (1) : Dengan berlakunya UU ini maka seluruh anggota dewan gubernur dinyatakan berhenti.
  • Pasal II (2) : Pengangkatan gubernur dan deputi gubernur senior dilakukan paling lambat tujuh hari sejak UU ini diundangkan.
  • Pasal II (3) : Pengangkatan anggota dewan gubernur yang lainnya dilakukan paling lambat tujuh hari setelah ketentuan ayat 2 dilaksanakan.
Seperti dinyatakan Rizal Ramli, dalam RUU tersebut terdapat setidaknya empat prinsip dasar dari pasal-pasal dalam UU No.23/1999 yang diusulkan untuk dirubah, yaitu : pertama, adanya keselarasan hubungan antara kebijakan moneter yang dimiliki BI dan kebijakan fiskal pemerintah. Hal ini memungkinkan jika unsur pemerintah ikut terlibat dalam rapat-rapat yang dilakukan BI; kedua, adanya peran DPR dalam menilai kinerja - serta memberhentikan -- dewan gubernur BI; ketiga, kewajiban setiap anggota dewan gubernur BI dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang memungkinkan dimintai pertanggungjawaban secara individu; dan keempat, adanya kewajiban BI ikut serta dalam memberi masukan kepada pemerintah menyangkut RAPBN serta kebijakan-kebijakan lainnya.

Menyimak isi RUU diatas, agaknya mudah untuk memberi simpulan bahwa, sekali lagi, amandemen yang dilakukan sarat dengan nuansa politis yaitu usaha secara sistematis untuk mengganti kedudukan Syahril Sabirin sebagai Gubernur BI. Sebab, sebagian besar materi yang diajukan hanya berkutat pada hal-hal yang menyangkut penggantian pejabat BI. Sedangkan materi perihal independensi yang semestinya paling penting untuk digagas terabaikan.

Jika amandemen tersebut benar-benar dilakukan dengan bahasan materi yang tidak jauh berbeda dengan rangcangan yang diusulkan, akan dengan mudah tentunya untuk menggeser Syahril Sabirin dari jabatannya sebagai Gubernur BI. Disisi lain, ketidakjelasan perihal independensi masih akan terus menjadi kasus yang akan selalu berulang.

Paparan diatas memberi sedikit ilustrasi betapa para pemimpin dan elite-elite politik kita sedang memainkan peran dalam sebuah drama yang penuh dengan adegan politis. Mereka saling berebut menjadi aktor dan sutradara untuk menjadi yang terbaik menurut ukuran mereka sendiri.

Padahal jika kita memang benar-benar menginginkan BI menjadi sebuah institusi yang benar-benar independen, bersih dan berwibawa, semua bahan kajian semestinya didasarkan pada pertimbangan hati nurani dan akal sehat. Andai saja kita bisa sedikit berpikir jernih dan jauh dari kepentingan apa dan siapa pun, persoalan ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang amat simpel.

Langkah awal yang mesti dilakukan adalah menyelesaikan kasus Syahril Sabirin dalam skandal Bank Bali untuk segera membuktikan apakah ia benar-benar melakukan tindak pidana kejahatan. Jika ia benar-benar terbukti terlibat, pemerintah (presiden) dapat langsung menggantinya dengan pejabat lain yang lebih kompeten dan bersih. Namun jika tidak, ia bisa meneruskan tugasnya sebagai Gubernur BI. Upaya ini perlu dilakukan karena disamping status Syahril yang dibiarkan seolah mengambang sembari menunggu hasil amandemen yang bisa dengan tiba-tiba menggeser jabatannya juga untuk segera melaksanakan kendali moneter.

Langkah terakhir adalah melakukan amandemen yang khusus membahas perihal independensi dan pertanggungjawaban BI. Agar perubahan yang terjadi dapat benar-benar bermanfaat bagi BI dan masyarakat luas, dibutuhkan mekanisme pembahasan dengan akal sehat serta jauh dari tujuan-tujuan politis.