January 26, 2006

Ambiguitas Beras dalam Perdagangan Bebas

dipublikasikan di kolom Opinion www.lippostar.com, 17 januari 2001 :
Tahun baru yang biasanya menjadi harapan untuk menyongsong kehidupan baru yang lebih baik ternyata tidak berlaku bagi para petani. Seolah, nasib dan penderitaan yang menimpa petani sudah menjadi suratan takdir sehingga mereka tak bisa menikmati kehidupan yang sedikit lebih baik.

Gambaran tentang betapa buruknya nasib petani kita saat ini terlihat dari rendahnya harga gabah yang menjadi andalan satu-satunya sumber penghidupan petani. Impian untuk mendapatkan harga yang lebih baik musnah saat harga jual gabah pada musim panen pertama tahun ini anjlok di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2000 yang berlaku semenjak 1 Januari 2001, pemerintah mematok harga dasar gabah untuk gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 1100 per kilogram dan gabah kering giling (GKG) sebesar Rp 1500 per kilogram.

Beleid yang dimaksudkan untuk menolong para petani tersebut didukung dengan sokongan dana sebesar Rp 2,8 trilyun yang dimaksudkan untuk dapat membeli atau mengangkat harga apabila harga jual turun dari harga dasar yang telah ditetapkan. Namun dalam kenyataannya, harga gabah tetap jatuh terpuruk dari harga dasar yang ditetapkan pemerintah sebagai satu-satunya malaikat penolong. Di sentra-sentra produksi beras Jawa Tengah seperti Grobogan, Kudus, Demak dan Jepara harga jual gabah berkisar antara Rp 700 - Rp 750 per kilogram.

Ini berarti bahwa nasib para petani tidak akan jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Pengalaman membuktikan bahwa upaya pemerintah untuk memperbaiki nasib petani hanyalah sebuah janji tanpa bukti. Pada tahun 2000 yang lalu, janji pemerintah untuk menopang nasib petani dengan mematok harga dasar gabah sebesar Rp 1400 per kilo tidak terealisir. Selain itu, kucuran dana yang direncanakan untuk mengangkat harga musim panen Februari dan Agustus yang jatuh terpuruk dari harga dasar juga tidak terealisir hingga musim panen berakhir.

Kenyataan ini mencerminkan betapa buruknya pengelolaan yang dimiliki pemerintah dalam mengatur harga beras. Selain kegagalan dalam mencapai dan membantu target harga dasar, pemerintah juga tidak memiliki manajemen serta mekanisme yang jelas perihal perberasan. Selama ini, data-data yang dimiliki Bulog, Departemen Pertanian, Deperindag dan Badan Pusat Statistik tidak pernah konsisten satu dengan yang lain. Satu pihak gembar-gembor swasembada beras, namun di pihak lain terus melakukan impor beras yang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Salah satu contoh yang bisa membuktikan pernyatan ini adalah pada saat pemerintah menetapkan harga dasar gabah di tahun 2000 sebesar Rp 1400 per kilogram GKG atau Rp 2310 setara beras. Dengan tarif impor sebesar 30 persen yang diberlakukan semenjak Januari 2000, semestinya beras lokal dapat bersaing dengan beras impor, namun yang terjadi justru pemandangan impor beras yang terus-menerus membanjiri pasar lokal.

Amburadulnya manajemen pengelolaan pangan ternyata berakibat tidak hanya pada komoditas pangan itu sendiri, namun juga memiliki dampak yang jauh lebih luas. Sudah bukan rahasia lagi bahwa pada saat-saat yang lalu, semen, terigu, gula, minyak goreng dan kertas adalah sekelompok komoditas yang menjadi penyumbang terbesar angka inflasi. Padahal, komoditas tersebut adalah regulated commodities, yaitu barang-barang yang tata niaganya diatur oleh pemerintah -- atau `penghambat persaingan domestik' menurut istilah Bank Dunia.

Kembali pada pokok persoalan diatas, pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana menyelamatkan harga gabah yang anjlok jauh di bawah harga dasar yang dipatok oleh pemerintah. Salah satu upaya yang gencar dilakukan pemerintah (Bulog) adalah melakukan operasi pasar dengan cara membeli gabah milik petani melalui satgas yang ada di sub Dolog.

Terlepas dari realisasi operasi tersebut, tindakan tersebut sebenarnya telah mencerminkan sikap ambiguitas pemerintah dalam menangani manajemen beras. Sebab, pemerintah di satu sisi telah memiliki komitmen dengan IMF perihal liberalisasi beras, namun di sisi lain tetap mematok harga dasar yang jelas tidak memiliki arti dalam kamus liberalisasi perdagangan.

Karena itulah sebenarnya, persoalan terbaik yang harus segera dicarikan jalan keluarnya bukanlah dengan membeli atau menjual kembali produksi beras yang lebih rendah atau lebih tinggi dari harga dasar - meski tindakan tersebut mencerminkan sikap `kebaikan hati' pemerintah terhadap para petani. Hal ini bukan saja bertentangan dengan komitmen liberalisasi, namun dalam jangka panjang juga akan menjebak petani dalam lingkaran yang tak berkesudahan.

Dengan demikian, solusi yang harus dilakukan adalah bagaimana kita bisa tetap memegang teguh komitmen dengan IMF perihal liberalisasi perdagangan beras dengan tetap menjaga produksi dan konsumsi agar kita bisa survive swasembada beras. Untuk itu, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah melindungi harga beras dari risiko kejatuhan harga dengan memasukkan komoditi beras dalam perdagangan berjangka. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan diversifikasi pangan nasional dalam rangka menjaga swasembada beras.

Bursa Berjangka
Ketidakpastian harga komoditi beras sebenarnya dapat diatasi seandainya terdapat mekanisme yang mengatur transaksi jual-beli komoditas dengan baik, efisien dan transparan. Dalam pasar berjangka atau futures market, sebuah komoditi seperti beras dapat di-hedging atau dipagari dari faktor ketidakpastian tersebut. Ketidakpastian berupa harga dan risiko itu tidak hanya berasal dari naik turunnya harga komoditi, namun juga berasal dari perubahan kurs, suku bunga dan inflasi.

Selain menyediakan mekanisme pembentukan harga yang cepat, akurat, efisien dan transparan, bekerjanya mekanisme pasar secara efisien tersebut pada akhirnya akan menciptakan adanya kepastian akan demand, supply, mutu, transportasi, distribusi, pergudangan serta pendanaan. Hal ini terjadi karena perdagangan berjangka mensyaratkan adanya standardisasi.

Karena itulah kebijakan untuk memasukkan komoditi beras dalam transaksi derivatif spot, futures dan swap dalam bursa berjangka menjadi sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini mengingat bahwa disamping komitmen liberalisasi perdagangan beras dengan yang telah disepakati dengan IMF serta telah berkurangnya kendali Bulog, beras juga sebuah komoditi yang diperjualbelikan di pasar internasional.

Dengan tidak adanya agen pemasar, penetap harga, pengelola risiko, proteksi impor, subsidi harga dari pemerintah (Bulog) serta pemberi kredit dari Bank Indonesia berupa Kredit Likuiditas bank Indonesia (KLBI), peran tersebut akan diambil alih oleh bursa sehingga kita tidak perlu khawatir terhadap manajemen pengelolaan komoditi yang amburadul seperti yang sudah-sudah. Harga akan disuplai oleh bursa untuk masa depan berdasar hukum demand-supply berdasar informasi yang telah menjadi milik publik.

Futures market sebenarnya sudah dimulai pada paruh pertama abad 19 dengan dioperasikannya Chicago Board of Trade(CBOT) pada tahun 1848. Transaksi derivatif yang pada awalnya masih terbatas pada futures komoditi pertanian kemudian berkembang pada berbagai asset finansial. Pada perkembangan selanjutnya, instrumen options ikut meramaikan transaksi derivatif semenjak dioperasikannya Chicago Board Options Exchange (CBOE) pada tahun 1973. Kini, lebih dari 400 saham menjadi underlying asset transaksi options di Chicago Board Options Exchange, Philadelpia Stock Exchange, New York Stock Exchange, American Stock Exchange dan Pacific Stock Exchange.

Melihat sejarahnya, amat disayangkan apabila justru negara lain yang memanfaatkan kita akibat tidak adanya niatan untuk mengembangkan pasar berjangka. Singapura bahkan sudah mendapatkan banyak keuntungan dalam memperdagangkan komoditi yang tidak mereka produksi seperti minyak mentah dan karet melalu bursa berjangka Singapura.

Diversifikasi Pangan
Diversifikasi pangan dimaksudkan sebagai digunakannya beragam jenis pangan, nabati maupun hewani, dalam pola konsumsi pangan sehari-hari. Hal ini perlu dilakukan sebab tidak selamanya kita terus-menerus menggantungkan beras sebagai konsumsi sehari-hari. Dengan konsumsi beras tertinggi di dunia, akan sangat riskan apabila pada suatu saat persediaan beras tidak mencukupi permintaan.

Kendati beleid program diversifikasi telah dicanangkan semenjak dikeluarkannya Inpres No.14/1974 yang kemudian disempurnakan lewat Inpres Nomor 20/1979, pelaksanan program tersebut dapat dikatakan masih nol besar. Hal ini terbukti dari konsumsi beras rata-rata tertinggi di dunia yang mencapai 145 kg/ kapita/ tahun pada tahun 2000. Jika pola konsumsi ini terus-menerus dilakukan, dapat dipastikan upaya untuk mewujudkan kembali swasembada beras bakal terganggu. Apalagi mengingat bahwa pada saat swasembada beras di tahun 1984, konsumsi beras rata-rata/ tahun/ kapita sudah mencapai jumlah sebesar 110 kg.

Karena itulah masuk akal jika diversifikasi pangan mutlak harus dilakukan sebagai media pengaman sekaligus untuk mendiversifikasi pola pangan yang selama ini biasa dikonsumsi. Meski konsumsi beras menyangkut kebiasaan, diversifikasi bukan tidak mungkin dilakukan jika kebiasaan tersebut lambat laun sedikit dikurangi dengan menyadari bahwa pangan nonberas juga memiliki nilai gizi yang tidak sedikit.

Dengan semakin banyak mengkonsumsi aneka pangan, kebutuhan gizi, mineral dan kalori akan semakin terpenuhi secara memadai dan seimbang. Menurut data FAO, susunan pangan yang dikonsumsi dianggap baik apabila mengandung 10-12 persen protein, 20-25 persen lemak serta 63-67 persen kabohidrat. Dengan begitu, diversifikasi akan dapat mengurangi masalah kekurangan kalori protein (KKP), kurang vitamin A, kurang konsumsi iodium dan anema gizi yang selama ini menjadi problem utama kekurangan gizi di Indonesia.

Upaya yang dapat dilakukan agar program diversifikasi pangan dapat tercapai adalah dengan menggalakkan program `penyadaran' kepada masyarakat terhadap pangan nonberas serta melakukan pemetaan terhadap potensi pangan di berbagai wilayah dengan harapan dapat terjadi barter bahan pangan antar wilayah.

Catatan Akhir
Sedikit catatan yang barangkali harus untuk selalu diingat adalah bahwa persoalan pokok yang dihadapi para petani khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya bukanlah hanya pada anjloknya harga komoditas pertanian terutama beras. Namun, lebih pada bagaimana kita bisa tetap eksis mengelola manajemen pangan di tengah permintaan beras yang terus menaik dan keinginan untuk terus ber-swasembada beras ditengah tuntutan liberalisasi perdagangan.

Oleh karena itu, sebenarnya kebijakan dan aksi yang dilakukan pemerintah seyogyanya tidak hanya memiliki orientasi jangka pendek yang hanya bisa menuntaskan persoalan untuk sesaat. Sebab, persoalan pangan bukanlah persoalan perut semata, namun lebih survival masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.

Persoalan tidak akan pernah selesai dengan hanya terus memberi ikan, karena yang diperlukan sebenarnya adalah kail, umpan dan kolam yang lebih luas.

Dipati Ukur, awal 2001