January 26, 2006

Pajak yang Bijak

dipublikasikan di www.lippostar.com, 16/2/2001

Sebagai `penghimbau' pajak, sikap pemerintah belakangan ini dapat dikatakan sungguh tidak bijak. Berbeda dengan ungkapan `orang bijak taat pajak', sikap tak bijak tersebut tercermin dari banyaknya silang pendapat dari para pejabat pemerintah perihal pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi hasil pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.

Selain memberi kesan tak ada koordinasi, pernyataan Menteri Pertanian Bungaran Saragih, Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo, Menperrindag Luhut Pandjaitan, Dirjen Pajak Machfud Sidik serta Dirjen Industri Primer dan Pemasaran Hasil Pertanian Iskandar Andi Nuhung, semakin membikin bingung dan repot para pelaku bisnis dan konsumen. Satu pihak menyatakan bahwa pajak sudah diberlakukan, namun pihak lain menyatakan bahwa beleid tersebut ditunda, sedang dipertimbangkan kembali, atau bahkan dihapus seperti pernyataan Presiden Gus Dur.

Kebijakan dan sikap plintat-plintut tersebut mau tak mau memberi dampak yang merugikan bagi para pelaku bisnis. Sebab, banyak terdengar kabar kalau di banyak tempat konsumen menolak untuk dikenai pajak, kendati sang produsen sudah terlanjur membayar. Tak heran kalau kemudian muncul banyak desakan dari para pelaku agribisnis agar beleid yang tidak populer ini dibatalkan kembali.

Tidak berbeda jauh dengan sikap produsen, pihak konsumen dapat dipastikan lebih tidak setuju dengan ketentuan tersebut. Sebab merekalah yang sebenarnya harus membayar pajak, karena pajak yang diberikan oleh produsen kepada aparat pemungut pajak bisa dialihkan kepada konsumen. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahkan mengusulkan agar para konsumen menggalang dukungan untuk menolak PPN yang selama ini tak pernah dikoordinasi dengan baik.

Terlepas dari pro-kontra yang ada, pertanyaan yang semestinya digagas adalah apakah pengenaan pajak tersebut memang sudah selayaknya diberlakukan di tengah kondisi perekonomian dan kehidupan yang masih juga belum berangsur membaik. Pertanyaan ini wajar, mengingat komoditas pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan memiliki ruang gerak yang sangat dekat dengan periuk nasi masyarakat kecil.

Reformasi Pajak
Kebijakan pemerintah melakukan ekstensifikasi pajak ke dalam komoditas-komoditas pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dapat dikatakan merupakan reformasi pajak kedua setelah reformasi pajak yang pertama tahun 1983-1984. Perbedaannya adalah bahwa dalam reformasi pajak kali ini, UU pajak lebih berkiblat pada standar internasional yang berlaku secara universal. Menurut Dirjen Pajak Machfud Sidik, UU perpajakan kali ini juga tidak akan dibebani instrumen ekonomi yang terlalu berat, karena dikhawatirkan justru akan mandul dan mudah dibuat loophole-nya. Kabarnya, entah kebenarannya, ketentuan yang diatur juga akan semakin menutup peluang aparat maupun wajib pajak untuk saling berkolusi.

Selain memiliki tujuan dalam perbaikan administrasi, pelayanan dan keadilan, beleid pajak kali ini tidak lepas dari target pajak yang dipatok pemerintah untuk menutup defisit anggaran dalam APBN 2001. Sebagaimana diketahui, defisit APBN 2001 sebesar Rp 41.904, 1 milyar yang sebagian diantaranya akan ditutup oleh penjualan BUMN dan asset pemerintah di BPPN serta penerimaan migas juga dipatok target dari penerimaan pajak sebesar Rp 179.892 milyar.

Dengan semakin lemahnya bargaining BPPN dalam melelang asset yang ditambah dengan semakin tidak stabilnya harga minyak di pasaran dunia, maka mau tidak mau penerimaan pemerintah dari pajak dan cukai menjadi satu-satunya cara terbaik untuk menutup defisit anggaran tersebut.

Salah satu komponen yang menjadi dasar pertimbangan paling kuat dalam pengenaan pajak kali ini adalah tax ratio negara kita yang masih rendah. Tax ratio atau perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB) menunjukkan besar bagian PDB yang bisa ditarik kembali sebagai pajak oleh negara. Tax ratio juga bisa menjadi parameter untuk melihat seberapa produktif sistem perpajakan suatu negara dalam mengumpulkan penerimaan negara, dimana semakin tinggi (rendah) nilai tax ratio, menjadi tolok ukur semakin maju (rendah) sistem perpajakan negara tersebut.

Saat ini Indonesia memiliki rasio pajak terendah kedua setelah Myanmar diantara negara-negara Asean. Rata-rata rasio pajak yang dimiliki Indonesia semenjak 1985-1999 adalah 11,31%, jauh di bawah Singapura (22,24%), Malaysia (20,17%), Thailand (17,28%) dan Filipina (14%). Pada saat era reformasi pajak pertama (1983-1984), rasio pajak yang dicapai pemerintah hanya berkisar 10%-12%. Ketika UU Perpajakan direvisi kembali pada tahun 1994, rasio pajak yang dicapai juga hanya berkisar 12%. Yang lebih memprihatinkan, rasio pajak tahun 1997/1998, 1998/1999 dan 1999/2000 terus mengalami penurunan menjadi 11,4%, 9,7% dan 7,7%. Menurut Menkeu Prijadi Praptosuhardjo, rasio pajak ini pada akhirnya akan terus dinaikkan minimal menjadi batas normal 16%.

Niatan untuk terus menggenjot pajak agaknya tidak bisa dihindari jika kita mengingat kembali risiko negatif yang bakal terus terjadi seandainya harapan untuk memperbaiki perekonomian hanya ditumpukan pada hutang luar negeri dan harga minyak dunia yang terkadang masih tak menentu. Jika dalam jangka panjang kita menginginkan menjadi negara terbebas dari hutang, maka ekstensifikasi dan intensifikasi pajak adalah sebuah hal yang masuk akal.

Jika demikian, apakah pengenaan PPN atas komoditas pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan sudah tepat pada sasaran ?

Ambiguitas PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah selisih antara pajak keluaran dengan pajak masukan. Pajak masukan adalah PPN yang dibayar pada saat pengusaha kena pajak melakukan pembelian barang atau jasa kena pajak, sedangkan pajak keluaran adalah pajak yang dipungut dari para pembeli oleh pengusaha kena pajak pada saat barang atau jasa kena pajak tersebut dijual.

Persoalan terjadi manakala produsen sudah mengeluarkan pajak (masukan) dalam membeli komoditas untuk diproduksi, sementara mereka tidak bisa mendapatkan kembali pajak (keluaran) yang didapat akibat penolakan konsumen. Sekali lagi, masalah ini terjadi akibat kebijakan dan pernyataan pemerintah yang simpangsiur dan tidak konsisten.

Salah satu contoh adalah masih berlakunya SK Menperindag Nomor 115/MPP/Kep/2/1998 yang menyebutkan bahwa hasil ternak seperti daging, susu dan telur oleh pemerintah dikategorikan sebagai kelompok sembilan bahan pokok (sembako) yang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak. Hal ini dipertegas dalam UU Nomor 18/2000 pasal 4 A (2b) yang menyebutkan bahwa barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat tidak dikenai PPN.

Dengan alasan bahwa komoditas tersebut masih sangat dibutuhkan ditambah pernyataan Presiden Gus Dur bahwa PPN tersebut batal untuk diberlakukan, konsumen memiliki argumentasi untuk menolak. Sementara konsumen menolak, produsen harus menanggung beban karena mereka terlanjur membayar pajak masukan. Akibatnya, para pengusaha agribisnis tidak hanya terus dilanda kebingungan, namun juga mesti rela menanggung kerugian. Padahal, pada saat ini mereka juga harus bersaing dengan perusahaan asing yang jelas-jelas memiliki modal besar. Tak heran bila para pengusaha agribisnis juga terus mendesak agar pengenaan PPN dibatalkan atau dihapus kembali.

Argumen yang diajukan produsen yang menolak PPN andai PPN tetap jadi diberlakukan adalah bahwa sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan belum mampu bersaing dengan komoditas impor yang hampir pasti lebih baik dan murah. Dengan bea masuk (BM) impor sebesar 5%, dapat dipastikan komoditas lokal bakal bersaing dengan produk luar yang membanjiri pasar. Sementara bila mereka melakukan ekspor, untuk negara-negara di kawasan Asean saja mereka terkena BM sebesar rata-rata 40%.

Kebijakan yang pertama dan satu-satunya di dunia ini nampaknya akan terus menjadi persoalan yang membawa dampak negatif apabila pemerintah tidak segera turun tangan. Siapa pun tahu, bahwa kepastian hukum menjadi barang yang sangat berharga bagi dunia usaha. Lantas, solusi macam apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah?

Pajak dan Hutang Luar Negeri
Limpahan hutang yang dinikmati negara kita terbukti tidak memberi banyak manfaat, namun justru memberi banyak mudharat. Maka sudah semestinya, bila kita harus memiliki niatan untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali kebiasaan mengutang. Artinya, dalam masa-masa mendatang, upaya membangun dengan hasil keringat sendiri harus menjadi agenda yang dinomorsatukan ketimbang hutang.

Secara teoritis, jika bantuan luar negeri sama dengan nol, maka penerimaan pajak (migas dan non-migas) dalam APBN harus ditingkatkan. Ini berarti bahwa jika kita berniat mengurangi atau menghilangkan hutang, jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah menggenjot pajak. Sebab, terlalu riskan apabila kita terlalu berharap pada harga minyak.

Dengan pertimbangan bahwa rasio pajak kita masih di bawah negara-negara tetangga, ada baiknya pemerintah segera meningkatkan pendapatan pajak sebagai pengganti ketergantungan kita terhadap utang luar negeri. Dalam jangka pendek, program ini barangkali akan terasa berat. Namun dalam jangka panjang akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan kita terhadap utang luar negeri. Sehingga pajak yang dibayar oleh rakyat, benar-benar dapat dipergunakan untuk meningkatkan kemakmuran, bukan lagi untuk membayar utang.

Peluang untuk terus menggenjot pajak juga masih sangat terbuka bila kita melihat tax coverage ratio yang masih sangat rendah. Rendahnya nilai tax coverage ratio mengindikasikan adanya banyak kewajiban pajak yang lolos dari penjaringan pajak. Sebagai gambaran, besar tunggakan pajak sampai pertengahan tahun 2000 yang lalu mencapai lebih kurang Rp 14 triliun.

Dengan demikian, penerapan PPN atas komoditas pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan sebenarnya sudah tepat untuk dilakukan. Kekhawatiran bahwa beleid ini bakal membebani masyarakat kecil agaknya kurang beralasan. Sebab, PPN ini berlaku bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang beromzet diatas Rp 240 juta per tahun. Nilai sebesar ini biasanya dimiliki oleh para pengusaha besar atau pemilik pasar swalayan, bukan para bakul kecil. Sedangkan konsumen yang terkena PPN adalah hanya mereka yang membelanjakan uangnya melalui tempat belanja semacam swalayan atau super market, dan bukan para pembeli di pasar tradisional. Maka jika kita mau cermati, penerapan PPN ini justru akan banyak membantu para pengusaha, pedagang dan masyarakat kecil. Sebab, kebanyakan dari mereka yang adalah `komunitas' pasar tradisional.

Catatan Akhir
Apa pun solusi yang pada akhirnya dilakukan pemerintah, agaknya harus selalu diingat bahwa penerapan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak tidak melenceng dari prinsip keadilan, kemudahan dan kelancaran administrasi, mendukung penerapan self assessment yang lebih baik serta meningkatkan produktivitas bagi penerimaan negara.

Jangan sampai terjadi, reformasi pajak menjadi ikut-ikutan latah dengan semangat reformasi setengah hati yang saat ini tengah terjadi. Besarnya tunggakan serta jumlah pajak-pajak yang telah kadaluarsa, menunjukkan lemahnya sistem perpajakan yang ada selama ini. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, bila banyak aparat pajak yang mengoleksi pajak hanya untuk kepentingan sendiri. Karena itu, bijak-bijak lah mengelola pajak, agar kelak kita bisa hidup enak.