January 26, 2006

Menyoal Kenaikan Harga Kertas

Setelah mengalami banyak ujian dengan banyaknya industri pers yang terpuruk semenjak booming pers di tahun 1997, industri ‘pencerdasan’ kehidupan bangsa tersebut harus menghadapi kembali ujian berupa kenaikan harga kertas. Kendati kenaikan harga kertas tersebut bukanlah yang pertama, kenyataan ini bisa jadi sebuah ujian terberat yang bisa membuat industri pers nasional benar-benar menjadi kolaps.
Lantas apa sebenarnya penyebab dari semua ini ?

Harga kertas sebenarnya sudah naik semenjak Oktober 1999 yang pada saat itu harganya masih sebesar US$ 465 per metrik ton (MT). Setelah itu, harga kertas berangsur-angsur naik menjadi US$ 495 (Januari-Maret 2000), US$ 535 (April-Juni 2000), US$ 580 (Juni-September 2000) dan menjadi US$ 640 per MT (Oktober 2000).

Argumen para produsen kertas terhadap kenaikan harga kertas ini adalah faktor-faktor internasional seperti runtuhnya sebagian besar produsen kertas di Amerika Utara dan semakin tingginya minat membaca di dunia internasional akibat semakin bertambahnya kemakmuran. Selain itu, kenaikan BBM sebesar 12 persen dan tarif dasar listrik juga menjadi pembenar penyebab kenaikan harga karena semakin tingginya ongkos produksi.

Pertanyaan yang kemudian patut kita gagas adalah apakah benar bahwa realitas tersebut menjadi penentu naiknya harga kertas ?

Peta Industri Kertas
Sampai saat ini, tercatat ada lima produsen kertas di dalam negeri yaitu PT Aspex Kumbong, PT Kertas Leces, PT Gede Karang, CV Setia Kawan dan PT Adiprima. PT Aspex Kumbong dengan kemampuan produksinya yang paling besar diantara perusahaan-perusahaan tersebut, menguasai 60 persen pangsa pasar kertas dalam negeri, sedangkan sisanya dimiliki oleh empat perusahaan lainnya.

Dengan kemampuan produksi sebesar 430.000 ton per tahun, PT Aspex Kumbong dapat dikatakan menjadi price leader dalam industri ini, sehingga dapat dikatakan others can only follow. Ini dapat dilihat dari timpangnya kapasitas produksi produsen yang lain seperti PT Kertas Leces yang hanya mampu memproduksi 36.000 ton, PT Gede Karang 40.000 ton, CV Setia Kawan 40.000 ton dan PT Adiprima sebesar 19.000 ton per tahun. Secara rerata, pasokan kertas dalam negeri mencapai 600.000 ton per tahun. Jumlah ini dapat dikatakan cukup melimpah dikarenakan permintaan dalam negeri hanya mencapai 200.000 ton per tahun. Dengan jumlah penawaran yang melebihi permintaan tersebut, para produsen kertas kemudian melakukan ekspor ke pasar internasional. Jika demikian, lalu mengapa harga kertas bisa menjadi naik ?

Argumentasi yang diberikan para produsen ialah bahwa harga kertas dalam negeri sangat terpengaruh oleh keadaan atau harga kertas di pasaran internasional. Artinya jika di pasaran internasional naik (turun), maka harga kertas di dalam negeri juga akan mengalami kenaikan (turun). Saat ini, international price berkisar antara US$ 670 - US$ 700 per MT.

Jika benar demikian, masuk akal apabila harga kertas di dalam negeri juga ikut mengalami kenaikan meski dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga di pasaran internasional. Namun bila kita mau kaji lebih lanjut, 85 persen bahan baku pembuatan kertas ternyata masih memakai bahan baku lokal. Dengan demikian, logika apa yang dapat dipakai untuk menjelaskan kenaikan harga kertas ?

Dengan logika berpikir yang sederhana, barangkali dapat disimpulkan bahwa penyebab dari kenaikan harga kertas bukanlah faktor-faktor internasional, namun lebih kepada cara pendang produsen kertas dalam melakukan bisnis. Meski harus diakui bahwa kenaikan BBM dan tarif dasar listrik berpengaruh terhadap ongkos produksi, namun semestinya kenaikan harga kertas tidaklah sebesar saat ini.

Dengan tanpa bermaksud melakukan ‘tuduhan’, pihak produsen kertas semestinya jangan hanya melihat bisnis dari untung-rugi semata kendati mereka dapat menjual dengan harga tinggi di pasar internasional. Sebab, bukan tidak mungkin biaya sosial yang harus kita tanggung lebih besar dibandingkan benefit yang didapat. Karena ongkos untuk menjadi lebih pandai menjadi lebih mahal.

Dipati ukur, akhir 2000