January 26, 2006

Interpretasi dan Yurisdiksi Perdagangan Berjangka

dipublikasikan di www.lippostar.com, 9/4/2001

Berbagai macam kontroversi dan perdebatan yang selalu saja marak ternyata tidak hanya monopoli kaum elit politik saja. Karena ternyata para pelaku bisnis juga tidak mau kalah. Kenyataan ini terlihat pada perdebatan di seputar rencana perdagangan indeks berjangka atau stock index futures oleh Bursa Efek Surabaya (BES) yang kian hari bukannya kian menemui titik temu, namun justru semakin blunder tak tentu arah.

Konon, polemik bermula dari pernyataan salah seorang pejabat di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) yang mengatakan bahwa perdagangan indeks berjangka oleh BES harus mendapatkan ijin terlebih dahulu kepada Bappepti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Pernyataan ini didasarkan oleh UU No.32/1997 yang mengatur tentang perdagangan berjangka komoditi. Dilain pihak, BES beranggapan bahwa rencana untuk menggelar perdagangan indeks berjangka sudah sesuai dengan UU No.8/1995 tentang Pasar Modal, sehingga mereka cukup berpedoman pada Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal).

UU No.8/1995 tentang Pasar Modal menyebutkan bahwa Bursa Efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan system dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek diantara mereka. Sedangkan Efek itu sendiri didefinisikan sebagai surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek dan setiap derivatif dari efek. Sementara dalam UU No.32/1997 disebutkan bahwa Perdagangan Berjangka Komoditi, yang selanjutnya disebut perdagangan berjangka adalah sesuatu yang berkaitan dengan jual beli komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi atas Kontrak Berjangka.

Menyimak kedua UU tersebut terlihat bahwa keduanya sama-sama memberi penafsiran adanya kemungkinan untuk memperdagangkan indeks berjangka dimana indeks berjangka saham sebagai salah satu instrumen derivatif atau turunan dari efek termasuk dalam perdagangan berjangka komoditi. Dengan kata lain, keduanya sama-sama memberikan tempat dan peluang bagi perdagangan indeks berjangka baik sebagai efek yang dimaksud Bapepam maupun sebagai perdagangan berjangka yang dimaksud Bappebti. Karena itu, barangkali kita akan bisa 'maklum' melihat polemik tersebut dikarenakan kerancuan yang sudah terjadi semenjak awal.

Namun yang patut disayangkan adalah, pemerintah tidak segera mencarikan solusi dan jalan keluar terbaik bagi persoalan tersebut. Kenyataan ini dapat dilihat dari tidak adanya koordinasi, niatan dan solusi konkrit yang dapat dilakukan Bapepem maupun Bappebti. Bahkan terkesan, kedua belah pihak saling unjuk gigi mempertontonkan niatan dan kelebihannya masing-masing dalam 'memperebutkan' lahan perdagangan berjangka. Ini terlihat dari restu yang diberikan Bapepam kepada BES untuk segera merealisasikan perdagangan indeks berjangka mulai bulan Juli depan, sementara pihak BBJ juga terus melakukan upaya untuk memperdagangkan kontrak berjangka valas.

Kerancuan dan kebingungan yang terjadi karena baik perdagangan indeks berjangka maupun kontrak berjangka valas termasuk dalam perdagangan berjangka, memunculkan pertanyaan apakah kita benar-benar memerlukan keberadaan perdagangan (bursa) berjangka ? Dan siapakah yang sebenarnya harus mengelola perdagangan berjangka ?

Pertanyaan ini sungguh sangat penting dan vital karena dikhawatirkan jika tidak segera dilakukan penegasan pihak atau institusi yang menangani perdagangan berjangka semenjak dini, pada saatnya nanti akan terjadi lebih banyak polemik dan kekacauan akibat kesimpangsiuran peraturan. Hal ini mengingat bahwa selain perdagangan (berjangka) komoditi, dunia finansial memiliki banyak sekali instrumen hasil inovasi dan pengembangan produk-produk keuangan itu sendiri yang semakin lama semakin bervariatif. Jika tak segera disikapi, bisa jadi apa yang seharusnya dapat memberi manfaat positif kepada kita malah justru akan dapat memberi dampak negatif akibat ketidaktahuan, ketidakmauan atau keterlambatan kita dalam bersikap.

Sebagai contoh, kehadiran transaksi non-delivery forward (NDF) yang dilakukan para bankir di Singapura dalam menyikapi Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.3/3/PBI/2001 perihal larangan transaksi rupiah dengan pihak asing dan pembatasan transaksi derivatif valas terhadap rupiah. Terhadap jenis transaksi ini, Bank Indonesia (BI) belum memberi ketegasan sikap, bahkan terkesan 'cuek'. Maka jika saja kita sudah memiliki institusi yang benar-benar berwenang menangani perdagangan berjangka, barangkali kita tidak perlu berlama-lama dan ragu-ragu menyikapi hal ini.

Perdagangan Berjangka = Untuk Apa ?
Indeks berjangka atau stock index futures adalah produk salah satu dari instrumen derivatif, yaitu instrumen keuangan yang imbal hasilnya merupakan derivikasi atau turunan dari kinerja aset lain yang menjadi dasarnya (underlying asset). Underlying asset tersebut terdiri dari kurs dan suku bunga (currency and interest rate-related derivatives), saham (equity-linked derivatives) dan komoditas (commodity-linked derivatifes), sedangkan instrumen derivatif itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi options, futures, forwards dan swaps. Stock index futures yang dimaksud BES termasuk dalam kategori equity-linked derivatifes, karena underlying asset-nya adalah saham-saham (LQ 45) yang ditransaksikan di bursa efek.

Satu hal yang menjadi daya tarik dari instrumen derivatif adalah kemampuannya dalam melakukan hedging atau lindung nilai dari risiko, misalnya risiko yang terjadi akibat ketidakpastian kurs dan suku bunga atau ketidakpastian terhadap harga komoditi. Pengalaman membuktikan, bahwa krisis multidimensi yang kita alami terjadi akibat karena salah satunya kita tidak melakukan hedging atau lindung nilai terhadap aktivitas bisnis dan perekonomian. Tak aneh bila kemudian terjadi banyak aktivitas bisnis gulung tikar karena mereka tidak meng-hedge transaksi mereka dengan derivatif kurs dan suku bunga (currency and interest rate-related derivatives) akibat volatilitas dan ketidakstabilan nilai dollar, serta jeritan petani yang hasil panennya harus rela dibayar dibawah harga dasar karena tidak adanya sarana hedging melalui derivatif komoditas (commodity-linked derivatifes).

Meski bisa dipergunakan sebagai sarana hedging, produk derivatif juga tidak lepas dari kritikan-kritikan yang bernada menyudutkan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat transaksi derivatif merupakan zero-sum-game yang sangat berisiko di mana peran para spekulan juga banyak mempengaruhi transaksi yang terjadi. Ambruknya Baring Brothers Bank PLC dan Daiwa Bank cabang New York memberi sedikit bukti bahwa transaksi ini sangat berisiko. Chrash-nya Wall Street pada 19 Oktober 1987 juga dimungkinkan oleh jenis transaksi ini. Hanya saja perlu diketahui, bahwa kebangkrutan yang mereka alami lebih diakibatkan karena mereka menjadikan transaksi ini sebagai ajang spekulasi atau profit taking.

Meksiko dan Taiwan, adalah contoh negara yang `tersadar' akan perlunya transaksi derivatif segera setelah mereka terhajar krisis. Hantaman terhadap mata uang peso dan posisi utang pemerintah yang saat itu tidak di-hedge, membuat pemerintah Meksiko segera mengizinkan perdagangan derivatif (futures) dan merealisasikan bursa perdagangan berjangka. Bahkan, nilai transaksi di bursa ini melebihi jumlah yang diperdagangkan di pasar modal Meksiko. Hal yang sama juga dilakukan Taiwan dengan membuat Taiwan Merchantile Exchange.

Kendati jenis instrumen ini bisa dikatakan bukan barang baru seperti pernah dilakukan Bank Duta beberapa tahun lalu, keberadaan peraturan dan institusi yang secara resmi dan jelas mengatur, mengurusi serta memperdagangkan instrumen derivatif di tanah air agaknya sudah sangat mendesak untuk segera diwujudkan. Selama ini, perdagangan derivatif semacam forward atau interest swap masih terjadi di pasar over-the-counter (OTC) yang dilakukan melalui bank-bank devisa. Padahal jelas terlihat adanya permintaan akan rupiah dan juga beberapa komoditi yang sayangnya justru diperdagangkan di pasar luar negeri. Sebagai contoh, rupiah pernah diperdagangkan oleh Finex, sebuah anak perusahaan New York Cotton Exchange, serta karet dan minyak mentah yang diperdagangkan di Bursa Berjangka Singapura.

Lantas, untuk apa sebenarnya bursa (perdagangan) berjangka ? Di Indonesia, bursa berjangka sangat potensial untuk memperdagangkan kontrak-kontrak komoditi yang sangat banyak dihasilkan, termasuk juga jasa kontrak keuangan seperti indeks saham dan kurs serta suku bunga. Kontrak-kontrak berjangka tersebut menjadi semakin vital peranannya ditengah ketidakpastian yang semakin menjadi-jadi pada sektor keuangan (perbankan dan pasar modal), nilai tukar mata uang, suku bunga, inflasi dan harga komoditi. Dengan kata lain, kontrak-kontrak berjangka tersebut akan dapat memberi manfaat lindung nilai atau hedging bagi para pelaku bisnis.

Untuk komoditi pertanian, keberadaan bursa berjangka seperti Bursa Berjangka Jakarta (BBj) seperti yang saat ini telah berjalan memang sudah menjadi keharusan mengingat liberalisasi sektor pertanian yang telah disepakati bersama WTO. Sebab, liberalisasi secara otomatis akan membuat sebuah mekanisme pasar yang akan membuat harga komoditi menjadi semakin fluktuatif mengikuti hukum demand-supply. Karena itu, hal-hal yang sebelumnya menjadi tanggung jawab pemerintah menjadi hilang dan harus dikelola sendiri oleh para pelaku bisnis melalui bursa berjangka yang dapat mengelola risiko dan menciptakan harga forward. Pada akhirnya, harga forward tersebut akan memberi informasi yang mengarah pada alokasi sumber-sumber yang lebih efisien.

Bagi petani dan pengusaha kecil, bursa berjangka akan dapat memberikan informasi harga yang mencerminkan kondisi yang sebenarnya sekaligus juga dapat memutuskan kapan harus menanam, memanen dan menjual sehingga risiko yang terjadi akibat fluktuasi harga dan ketidakpastian yang terjadi dapat diminimalkan.

Maka akan sangat terasa aneh jika negara seperti Singapura yang tak menghasilkan komoditas pertanian justru memperdagangkan komoditi tersebut, sementara kita sebagai negara dengan komoditas pertanian yang sangat besar hanya bisa terbengong-bengong melihat harga pertanian jatuh terpuruk.

Tak jauh berbeda dengan komoditas fisik, transaksi bisnis di pasar uang, pasar modal serta jenis-jenis investasi yang lain juga sangat memerlukan adanya perdagangan berjangka. Namun sayangnya, semenjak Bank Indonesia mengeluarkan PBI No. 3/3/PBI/2001, maka otomatis tak ada lagi instrumen yang bisa menyediakan sarana hedging bagi para pelaku bisnis ditengah kondisi perekonomian yang semakin tak menentu ini.

Rupiah dan NDF
Genderang perang yang ditabuh para bankir dan pemain pasar uang di Singapura dalam menyikapi PBI No. 3/3/PBI/2001 melalui transaksi non-delivery forward (NDF) nampaknya kurang mendapat respon dari Bank Indonesia. Ini terlihat dari pernyataan para petinggi BI yang tidak terlalu khawatir terhadap jenis transaksi tersebut. Salah satu alasannya adalah bahwa transaksi tersebut tak akan banyak berpengaruh terhadap nilai rupiah karena market-nya ada di luar negeri. Namun benarkah bahwa NDF tak memiliki dampak terhadap nilai rupiah ?

NDF adalah suatu jenis transaksi derivatif yang hampir sama dengan forward. Bedanya, dalam forward biasa, pihak yang melakukan kontrak harus menyediakan sejumlah uang sesuai dengan harga kesepakatan. Sedangkan dalam NDF, yang dihitung hanyalah selisih antara harga dalam kontrak dengan harga spot yang sudah dikonversi dalam dollar AS. Dengan demikian, tak ada aliran rupiah yang akan mengalir ke luar negeri sekaligus juga tak ada kebutuhan rupiah secara fisik. Meski begitu, bukan berarti NDF tak memiliki pengaruh terhadap rupiah.

Berlakunya PBI No. 3/3/PBI/2001 mengakibatkan transaksi forward sebagai salah satu instrumen hedging menjadi tak memungkinkan lagi. Ini berarti, tak ada lagi instrumen yang dapat memberi perlindungan bagi aktivitas-aktivitas bisnis. Padahal jelas, kebutuhan akan instrumen ini akan terus ada yang antara lain dipergunakan untuk menyelesaikan transaksi forward atau swap yang sudah telanjur terjadi sebelum PBI diberlakukan. Selain itu, transaksi ini juga masih diperlukan oleh pihak perbankan untuk menyamakan posisi devisa bersih (nett open position) sebagaimana aturan Bank Indonesia.

Ketiadaan sarana hedging ditengah kebutuhan hedging tersebut mau tidak mau mengakibatkan investor (terutama asing) enggan melakukan aktivitas bisnis karena tak ada sarana pelindung risiko yang bisa dimanfaatkan. Hal lain yang lebih membahayakan adalah adanya potensi yang tersembunyi menimbulkan gejolak rupiah. Sebab, kebutuhan forward sebagai sarana hedging yang tak dapat diperoleh di dalam negeri akan membuat para pelaku bisnis mempergunakan NDF sebagai instrumen hedging. Akibat harga dollar NDF di pasar Singapura yang hampir selalu melaju lebih tinggi dan cepat dibanding harga spot di Jakarta, maka pasar di dalam dan luar negeri akan saling terintegrasi melalui arbitrase. Jika hal ini terus menerus terjadi, maka rupiah punya potensi untuk terus melemah. Bagaimana dengan kekhawatiran rupiah bakal dijadikan ajang spekulasi ? Untuk mencegah hal tersebut, maka setiap jenis transaksi derivatif yang terjadi melalui bursa berjangka harus didasarkan pada underlying transaction.

Catatan Akhir
Sedikit gambaran diatas memperlihatkan bahwa keberadaan perdagangan dan bursa berjangka sebagai sarana lindung nilai bagi komoditas pertanian, kurs dan suku bunga serta saham merupakan sebuah hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
Ketiadaan instrumen hedging, sementara risiko investasi di pasar uang dan pasar modal masih sedemikan tinggi, akan membuat setiap jenis investasi apa pun memiliki potensi kerugian yang juga tinggi. Pengalaman menunjukkan, betapa mahal ongkos yang harus dibayar akibat kesembronoan kita mengabaikan risiko.

Polemik seputar institusi mana diantara BES dan BBJ yang semestinya memiliki lahan perdagangan berjangka sebenarnya tidak perlu terjadi manakala masing-masing pihak mau mencoba untuk bersikap sedikit bijak dan saling mengalah. Beberapa alternatif solusi yang bisa dilakukan antara lain adalah : pertama, merger BES-BBJ; kedua, tetap memposisikan bursa efek (BEJ & BES) sebagai pasar penghimpun dana, sementara BBJ dikhususkan sebagai tempat atau sarana kontrak berjangka dan lindung nilai, apa pun jenis komoditinya.

Dan apa pun solusinya, harus selalu diingat bahwa yang penting dari itu semua bukanlah siapa yang harus memegang kendali, namun lebih kepada bagaimana semua itu bisa memberi manfaat kepada masyarakat banyak.