January 24, 2006

Millenium Baru : Quo Vadis Pasar Modal Indonesia

(Arsip th 2000) :
Sewaktu tulisan ini dibuat, kedatangan tahun 2000 sudah masuk dalam hitungan detik, bukan lagi bulan atau hari. Bagi pelaku pasar modal, kedatangan milenium bukan hanya berarti kekhawatiran terhadap millenium bug, namun juga sebuah era transaksi perdagangan tanpa batas dalam sebuah pasar global yang terintegrasi (market integration).

Dalam konteks pasar modal, market integration berarti hilangnya hambatan untuk melakukan cross listing, cross trading dan cross membership. Maka, bukan sebuah hal yang aneh jika bursa yang tak memiliki keunggulan dalam integrasi pasar dan teknologi akan segera terdepak.

Lantas, bagaiman dengan pasar modal di tanah air ?

Sekilas Perkembangan Pasar Modal
Perkembangan investasi di Indonesia mengalami babak baru setelah direorganisasikannya pasar modal pada tahun 1977 melalui Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1976. Reorganisasi ini mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan investasi di Indonesia karena dengan diefektifkannya kembali pasar modal diharapkan pengalokasian sumber daya ekonomi terutama yang menyangkut alokasi modal dapat berlangsung secara efisien.

Weston dan Copeland memberikan empat macam manfaat ekonomis pasar modal yaitu : pertama, bursa Surat Berharga (security exchange) memperlancar proses transaksi dengan menyelenggarakan pasar dimana dapat dilakukan transaksi yang relatif murah dan efisien; kedua, bursa mampu menyelenggarakan transaksi yang kontinyu dan menguji nilai surat berharga. Perusahaan yang dinilai baik prospeknya oleh investor memiliki nilai yang tinggi sehingga memperlancar pembiayaan baru dan pertumbuhan perusahaannya.; ketiga, harga-harga surat berharga relatif lebih stabil dengan adanya bursa yang terorganisir. Dengan demikian transaksi surat berharga dapat berjalan lancar dan harga dapat dikendalikan; keempat, pasar surat berharga membantu penyerapan saham baru dan memperlancar proses penjualannya.

Di Indonesia seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya, pasar modal juga mengemban tugas sebagai sarana untuk memeratakan penghasilan dengan cara memperluas distribusi kepemilikan surat berharga, terutama kepada pemodal-pemodal kecil.

Secara garis besar perkembangan pasar modal di Indonesia sejak diefektifkannya kembali tahun 1977, dapat dibagi menjadi tiga era, yaitu :
1. Era Pra Deregulasi (tahun 1977 sampai dengan 1987)
2. Era Deregulasi (tahun 1987 sampai dengan 1990), dan
3. Era Pasca Deregulasi (tahun 1990 sampai dengan sekarang)

Periodisasi di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:


1. Era Pra Deregulasi
Tahun 1977 sampai dengan tahun 1987 merupakan era rintisan menuju pasar modal yang efisien. Sebelum periode 1977 sampai 1987 sebenarnya pasar modal telah dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu pada tahun 1912 yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi kemudian ditutup pada tahun 1942. Pemerintah Republik pernah pula mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1952 dengan Undang-Undang Darurat Nomor 15 Tahun 1952 yang tujuan utamanya untuk memberikan fasilitas bagi perdagangan obligasi pemerintah saat itu. Keadaan politik yang tidak menentu dan kondisi perekonomian yang buruk mengakibatkan pasar modal harus ditutup kembali. Keadaan ini berlanjut hingga tahun 1977 sampai pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1976 yang menandakan kembali diefektifkannya pasar modal. Sejak keluarnya Keputusan Presiden tersebut, pasar modal di Indonesia diharapkan menjadi wahana pengalokasian modal yang efisien serta alat untuk memeratakan pendapatan kepada pemodal-pemodal kecil.

Tahun 1977 sampai dengan 1987 merupakan periode awal perkembangan bursa di Indonesia, hal ini terlihat pada jumlah perusahaan yang menawarkan saham hanya terdapat 24 perusahaan dan 3 perusahaan yang menawarkan obligasi, sementara itu dana yang terhimpun hanya berkisar Rp 131,4 milyar. Pada masa itu, pasar modal merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Ini tercermin dari beberapa indikator antara lain sedikitnya jumlah perusahaan yang menawarkan surat berharga melalui pasar modal.

Bagi perusahaan, pasar modal bukan merupakan wahana yang menarik untuk menjual surat berharga karena beberapa alasan, yaitu:
a. Adanya persyaratan laba minimum sebesar 10 persen dari modal sendiri. Per-syaratan ini dinilai cukup berat bagi perusahaan yang akan go public.
b. Tertutupnya kesempatan bagi investor asing untuk berpartisipasi dalam kepemilikan saham.
c. Adanya batas maksimum fluktuasi harga saham sebesar 4 persen dalam setiap hari perdagangan di bursa.
d. Tidak adanya perlakuan yang sama terhadap penghasilan yang berasal dari bunga deposito dengan dividen.
e. Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa.

Faktor-faktor di atas merupakan penyebab kurang menariknya pasar modal, baik bagi perusahaan maupun investor.

2. Era Deregulasi
Berdasarkan pada pengamatan faktor-faktor tersebut, pemerintah mengeluarkan tiga perangkat paket kebijakan penting dalam bidang pasar modal. Ketiga perangkat kebijakan tersebut dituangkan dalam paket-paket deregulasi sebagai berikut:

a. Paket Desember 1987 (Pakdes)
Isi penting dari paket kebijakan ini yang berkaitan erat dengan pasar modal yaitu:
1) Menghapuskan persyaratan laba minimum 10 persen dari modal sendiri.
2) Diperkenalkannya instrumen baru pasar modal yaitu saham atas unjuk.
3) Dibukanya bursa paralel (Bursa Paralel Indonesia) sebagai arena perdagangan efek bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah.
4) Dihapuskannya ketentuan batas maksimum fluktuasi harga sebesar 4 persen.

b. Paket Oktober 1988 (Pakto)
Melalui paket ini, pemerintah melakukan beberapa kebijakan yang sangat penting yaitu:
1) Pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito berjangka dan sertifikat deposito tabungan.
2) Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian kredit bank kepada nasabah perorangan dari nasabah grup yaitu secara berturut-turut tidak melebihi 20 persen dan 50 persen dari modal sendiri bank pemberi kredit.
3) Penetapan persyaratan modal minimum untuk mendirikan bank umum swasta nasional, bank pembangunan dan bank campuran.

c. Paket Desember 1988
Melalui paket ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada swasta untuk mendirikan dan menyelenggarakan bursa di luar Jakarta. Dengan kebijakan ini, dibuka peluang bagi investor bagian lain untuk memperdagangkan efeknya di bursa tersebut sehingga investor tidak lagi harus memperdagangkan efeknya di Bursa Efek Jakarta. Disamping itu melalui paket ini, pemerintah memberikan kesempatan kepada seluruh perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh di bursa (company listing). Dengan demikian, diharapkan saham perusahaan akan lebih marketable.

d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1055/KMK.013/1989 tentang Pembelian Saham oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal.
Melalui keputusan ini, pemerintah membuka kesempatan bagi investor asing untuk berpartisipasi di pasar modal Indonesia. Ketentuan ini membolehkan investor asing untuk menguasai maksimum 49 di pasar perdana, maupun 49 persen saham yang tercatat di bursa efek maupun bursa paralel.

e. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1199/KMK.010/1991 jo Keputusan Menteri Keuangan 1548/KMK/013/1990 tentang Perubahan Status BAPEPAM.
Melalui keputusan ini, tugas BAPEPAM yang semula merupakan penyelenggara bursa (Badan Penyelenggara Pasar Modal) berubah menjadi pengawas pasar modal (Badan Pengawas Pasar Modal) sedangkan penyelenggara bursa diserahkan kepada swasta.
Di samping itu, lembaga-lembaga penunjang lainnya seperti Lembaga Kliring Penyelesaian dan Penyimpanan, Reksa Dana resmi dibentuk.

3. Era Pasca Deregulasi
Dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan deregulasi, pasar modal di Indonesia berkembang sangat pesat. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah perusahaan go public yang sangat drastis. Bila pada tahun 1988, jumlah emiten yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta baru mencapai 26 perusahaan maka pada akhir 1994 telah mencapai 218 perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp 103.835,24 milyar. Pertumbuhan tersebut juga diikuti oleh semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pasar modal di Indonesia, jika pada tahun 1977 rata-rata transaksi baru mencapai Rp 1.650.000 per hari, dan pernah mencapai Rp 50.000.000 per hari pada tahun 1982 maka pada akhir tahun 1993 transaksi telah mencapai Rp 117.582 juta per hari. Ini berarti telah terjadi peningkatan 738 persen jumlah emiten yang terdaftar di bursa selama periode waktu tersebut dan terjadi kenaikan 215 kali lipat pada nilai kapitalisasi.

Upaya-upaya untuk meningkatkan peranan pasar modal dalam perekonomian Indonesia masih terus berlanjut. Dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan pada era pasca deregulasi untuk mengontrol dan menutup kelemahan-kelemahan pasar modal masih terus digulirkan, khususnya untuk melindungi investor dan pelaku pasar modal lainnya.

Beberapa peraturan yang dikeluarkan antara lain:

1. Peraturan Nomor: IX.C.1. tentang keterbukaan informasi yang harus segera diumumkan kepada publik (lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-22/PM/1991).
2. Peraturan Nomor: X.D.1. tentang persyaratan keterbukaan orang dalam dan pemegang saham tertentu (lampiran Keputusan BAPEPAM Nomor: Kep-89/PM/1991).
3. Surat Edaran Ketua BAPEPAM Nomor: SE-05/PM/1992 tentang penyampaian laporan keuangan tahunan.
4. Perubahan Peraturan Nomor IX.A.8. tentang benturan kepentingan transaksi tertentu.
5. Peraturan Nomor: IX.D.1 tentang benturan kepentingan transaksi tertentu (lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor: Kep-01/PM/1993).

Faktor-faktor Pendukung Keberhasilan Pasar Modal
Seperti telah diungkapkan di muka, pasar modal di Indonesia baru mempunyai aktivitas yang cukup berarti setelah dikeluarkannya berbagai kebijakan berupa berbagai kemudahan dalam bentuk deregulasi.
Berdasarkan perjalanan sejarah tersebut dapat disimpulkan beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pengembangan pasar modal di Indonesia sebagai berikut :

1. Sisi Penawaran
Keberhasilan pembangunan ekonomi telah menghasilkan kemajuan ekonomi yang cukup mengesankan khususnya dalam bidang industri dan perdagangan. Keberhasilan ini telah menciptakan peluang yang sangat besar bagi berdirinya perusahaan swasta baik domestik maupun asing. Besarnya jumlah perusahaan industri, perdagangan, maupun jasa memberikan kemungkinan yang besar untuk timbulnya banyak kebutuhan pembiayaan dan permodalan. Kebutuhan ini salah satunya dapat dipenuhi melalui pasar modal sehingga merupakan potensi penawaran efek yang cukup besar kepada masyarakat.
Sebagai gambaran dari potensi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Jumlah perusahaan yang telah go public bulan Desember 1993 adalah sebanyak 208 perusahaan sedangkan sampai dengan bulan Juni 1995 terdapat 223 perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp 116,996 trilyun atau terjadi kenaikan 15 perusahaan selama periode tersebut.
2) Diversifikasi sektor usaha, perusahaan-perusahaan yang telah go public di Bursa Efek Jakarta meliputi 28 sektor usaha. Banyaknya jenis usaha ini merupakan potensi bagi pengembangan pasar modal, terlebih lagi dengan masuknya beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Bursa Efek Jakarta.

2. Sisi Permintaan
Potensi pasar modal dari sisi permintaan terhadap efek yang ditawarkan pasar modal terus mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Bertambahnya jumlah dana pensiun yang mencapai lebih dari 500 badan usaha yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.
b. Jumlah perusahaan asuransi yang mencapai lebih dari 150 perusahaan.
c. Meningkatnya investor baik individual maupun institusional lainnya.
d. Semakin bertambahnya perusahaan pengelola investasi.
e. Peningkatan investor asing baik perorangan maupun institusi yang bertindak sebagai pengelola dana (fund manager).

3. Kondisi Sosial dan Politik
Ditinjau dari segi stabilitas politik dan keamanan, Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia yang relatif stabil. Kondisi ini merupakan faktor yang cukup kondusif bagi kelangsungan investasi baik yang dilakukan oleh swasta dalam negeri maupun asing.

4. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5 persen sampai 7 persen pertahun merupakan daya tarik bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Terlebih lagi setelah diadakan revisi terhadap sasaran pertumbuhan ekonomi Indoensia selama PJPT II yaitu sebesar 7,1 persen per tahun.

5. Aspek Hukum dan Peraturan
Permintaan sekuritas pada dasarnya mengandalkan diri pada informasi yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan yang menerbitkan sekuritas. Oleh karena itu, kebenaran informasi menjadi sangat penting, di samping kecepatan, dan kelengkapan informasi itu sendiri. Peraturan yang melindungi pemodal dari informasi yang tidak benar dan menyesatkan menjadi mutlak diperlukan dan penegakkan aturan (law enforcement) harus diterapkan dengan memberikan sanksi yang tegas.

6. Likuiditas
Dari 218 saham perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta pada bulan Desember 1994 hanya 60 persen atau 130 saham perusahaan yang benar-benar aktif diperdagangkan (Jurnal Pasar Modal Indonesia, Nomor 05/VI/Mei 1995). Hal ini mencerminkan likuiditas perdagangan saham di bursa masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh beberapa analis pasar modal selama ini, rendahnya likuiditas disebabkan oleh rendahnya kepemilikan saham yang bersangkutan oleh masyarakat (publik) yang masih berkisar antara 20 persen sampai dengan 30 persen.

7. Struktur Pemegang Saham
Sebagian besar kepemilikan saham suatu perusahaan masih dimiliki oleh pemegang saham pendiri dan hanya 20 persen hingga 30 persen yang dimiliki oleh publik. Struktur yang timpang ini menimbulkan perangkapan fungsi sebagai pemegang saham dengan fungsi dewan komisaris atau direksi. Keadaan ini sering menimbulkan kerancuan apakah direksi benar-benar bertindak untuk kepentingan perusahaan dan seluruh pemegang saham atau untuk keperluan pemegang saham pendiri.

8. Instrumen Pasar modal
Instrumen pasar modal yang ditawarkan masih sangat terbatas pada saham dan obligasi. Jenis-jenis lainnya misalnya instrumen derivatif seperti futures dan option masih belum ditawarkan walaupun saat ini sudah ada yang menerbitkan warrants dan obligasi konversi (convertible bonds).

9. Profesionalisme Pelaku Pasar Modal
Pasar modal membutuhkan dukungan profesionalisme yang tinggi bagi pihak-pihak yang melakukan investasi maupun pihak-pihak yang memberikan jasa di pasar modal. Lembaga-lembaga pendukung pasar modal seperti BAPEPAM, Bursa Efek, akuntan publik, underwriter, wali amanat, notaris, konsultan hukum, dan lembaga kliring (clearing house) perlu bekerja dengan profesional dan dapat diandalkan sehingga kegiatan emisi dan transaksi di bursa efek dapat berlangsung secara cepat, efisien, dan dapat dipercaya.

Karakteristik Pasar Modal Indonesia
Dalam perjalanannya, pasar modal di tanah air memiliki karakteristik berikut :
a. Dominasi asing
Sudah bukan rahasia lagi bahwa transaksi perdagangan efek di bursa lebih banyak didominasi oleh asing. Sebagai misal, nilai perdagangan saham selama tahun 1998 di BEJ anjlok dari rata-rata Rp 500 miliar menjadi hanya Rp 100 miliar lantaran hengkangnya investor asing.
b. Belum efisien
Pasar modal yang efisien adalah pasar modal dimana harga sekuritas yang diperdagangkan mencerminkan semua informasi yang relevan. Dalam pasar yang efisien, akan sangat sulit bagi pemodal untuk memperoleh keuntungan abnormal.
Penelitian yang dilakukan oleh Suad Husnan (1991) maupun Siddharta Utama (1992) terhadap efisiensi pasar modal di Indonesia terutama di Bursa Efek Jakarta (BEJ) menyimpulkan bahwa BEJ tidak efisien dalam bentuk lemah (weak form test). Ketidakefisienan tersebut disebabkan oleh kondisi-kondisi yang mendukung efisiensi pasar tidak terpenuhi, ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab ketidakefisienan yaitu: pertama, tingkat likuiditas yang masih rendah dan kedua, belum terbukanya para emiten dalam mengungkapkan informasi yang benar atas perusahaannya (Manajemen dan Usahawan, Nomor 6 Tahun XXI, Juni 1992).
c. ‘Moral Hazard’
Mengambil sedikit contoh, masih terdapat kasus insider information atau cornering. Insider information terjadi dalam transaksi perdagangan saham Super Indah Makmur (1996), Super Mitory Utama (1996), Bank Mashill Utama dan Semen Gresik (1998). Sementara cornering terjadi pada saham Bank Pikko (1997).
d. Celah peraturan dan lemahnya pengawasan otoritas bursa
Mekanisme pengawasan yang dilakukan otoritas bursa terkadang dinilai masih lemah dalam mengatasi berbagai konflik. Konflik yang terjadi, biasanya lebih disebabkan oleh lemahnya regulasi ‘rambu-rambu’ kebebasan pelaku bursa untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Sebagai misal, BEJ tidak melakukan delisting terhadap Inti Indo Rayon Utama yang hampir sembilan bulan tidak beroperasi. Selain itu, tentu kita masih ingat kasus saham yang hilang yang bahkan sampai saat ini masih saja terjadi. Jika pada tahun 1996 saham yang hilang di BEJ baru sebanyak 163.000, tahun 1997 meningkat jumlahnya menjadi 2, 576 juta dan pada 1998 menjadi 30 juta.
e. Investor retail belum optimal
Selama ini, transaksi yang dilakukan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya lebih memperlihatkan gambaran investor yang berduit. Sementara, investor retail hanya punya kemampuan membeli efek dalam jumlah sedikit.
f. Isu lebih dominan ketimbang persuasi otoritas bursa dan penguasa moneter
Di pasar modal manapun, isu jelas berpengaruh terhadap pergerakan indeks. Kendati demikian, pengaruhnya dapat dibandingkan secara relatif.
Di Amerika Serikat, isu dapat ditepis seketika oleh pernyataan pengelola bursa, otoritas moneter, pemerintah maupun kongres. Namun di Indonesia, pernyataan pejabat pemerintah maupun otoritas bursa belum sepenuhnya dipercaya oleh investor. Terkadang, mereka lebih mempercayai isu yang timbul.
Sebagai contoh, harga saham Telkom pernah jatuh pada sekitar bulan Maret 1997 lantaran desas-desus yang mengatakan bahwa pemerintah akan mempersingkat hak monopoli Telkom.
g. Belum ada kontrol efektif terhadap penggunaan dana hasil penjualan saham
Idealnya, dana hasil penjualan saham dipergunakan untuk melakukan ekspansi pada core business, dan bukan untuk melakukan diversifikasi atau malah untuk membayar utang. Hal ini pernah terjadi di tahun 1996 ketika hasil penjualan saham Telkom sebesar US$ 600 juta dipergunakan untuk membayar hutang luar negeri.
h. Risiko relatif tinggi
Kendati JP.Morgan menilai peringkat risiko ekonomi (economic risk) di Indonesia telah turun dari peringkat 87 (tahun 1998) menjadi peringkat 53 (Januari 1999), penurunan peringkat tersebut bukan risiko investasi di Indonesia (termasuk di pasar modal tentunya) menjadi lebih kecil. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan seperti kasus referendum, hutang luar negeri, kemampuan pemerintahan Gus Dur, dsb.
Masih menurut JP.Morgan, rebound perekonomian dari negative growth rate akan terjadi pada penghujung tahun 2000.

Quo Vadis ?
Ilustrasi diatas barangkali bisa memberikan sedikit gambaran bahwa telah banyak upaya yang dilakukan dalam membuat pasar modal di Indonesia bisa berjalan dengan aman, teratur, fair dan efisien. Berbagai regulasi yang berkaitan dengan pasar modal maupun perekonomian pada umumnya dapat dikatakan cukup membuat eksistensi pasar modal menjadi lebih eksis. Dengan kata lain, pasar modal di tanah air mengalami pasang surut yang hasilnya boleh dikatakan menggembirakan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sudah siapkan pasar modal di tanah air menghadapi integration market ?

Pertanyaan tersebut barangkali sangat relevan mengingat integration market berarti hilangnya hambatan dalam melakukan cross listing, cross trading dan cross membership. Hal itu berarti pula pasar yang aman, fair, teratur dan efisien.

Sedangkan pasar modal di Indonesia, masih menyisakan persoalan yang sepertinya menjadikan gambaran bahwa pasar modal di tanah air belum siap berintegrasi.
Beberapa kasus seperti insider trading, cornering atau hilangnya saham setidaknya bisa sedikit menggambarkan betapa persyaratan integrasi pasar modal yang aman, fair, teratur dan efisien dapat dikatakan masih (agak) jauh panggang dari api. Selain itu, persiapan scripless trading juga masih belum mencapai kemajuan yang cukup berarti.

Bahkan seorang Hasan Zein Mahmud yang mantan Dirut PT. Bursa Efek Jakarta (BEJ) dalam sebuah diskusi bertema ‘Bursa Menuju Milenium Baru’ baru-baru ini mengatakan bahwa integrasi pasar modal bagi Indonesia lebih banyak ruginya ketimbang untungnya. Selain itu, mantan calon komisaris BEJ yang namanya dicoret dari Bapepam itu juga berujar bahwa Indonesia tidak siap menghadapi integrasi pasar modal.

Kendati demikian, kita tak harus bersikap pesimistis. Bermacam kendala dan persoalan yang masih ada haruslah dilihat sebagai sebuah peluang dan tantangan, dan bukan sesuatu yang justru dihindari.

Yang kemudian mesti dilakukan adalah mempersiapkan hardware dan software terutama untuk cross trading dan cross membership. Sedangkan untuk cross listing tidak lagi menjadi soal lantaran Indonesia sudah mencatatkan sejumlah sahamnya di bursa negara maju, seperti saham Indosat dan Telkom di New York Stock Exchange (NYSE), Tri Polyta di NASDAQ, Tambang Timah dan HM Sampoerna di London Stock Exchange (LSE) dan Aneka tambang yang berencana mencatatkan sahamnya di Australian Stock Exchange (ASX).

Memang, banyak hal harus dilakukan. Dan semua itu tidaklah mudah : no pain, no gain !

Semarang, Desember 2000

Referensi :

Investor, No.8 Tahun II, Mei 1999

Jasso Winarto (Editor), “Pasar Modal Indonesia”, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, 1997


Jurnal Pasar Modal Indonesia, Nomor 05/VI/Mei 1995


Jurnal Pasar Modal Indonesia, Februari 1999


Kompas, 2 Juni 1995


Manajemen dan Usahawan, Nomor 6 Tahun XXI, Juni 1992


Medpress Teamwork, “Kiat Investasi dan Penyelamatan Asset”, PT Elex Media Komputindo. Jakarta, 1998


SWASEMBADA, Nomor 22/XV/, 4 - 17 November 1999


Roy Sembel,”Rahasia Pohon Duit dan Mesin Uang”, PT Elex Media Komputindo. Jakarta, 1999


Taofik Hidajat, “Analisis Portfolio dengan Metode Excess Return to Beta : Studi Kasus di Bursa Efek Surabaya”, Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 1996


____________, “Sekilas Short Selling”, WARTA BRI No.10 Th XX - Oktober 1997