January 24, 2006

Menyoal Kembali Asumsi RAPBN 2001


(Arsip th 2000) :

Seperti yang sudah-sudah, Rancangan APBN tahun anggaran 2001 yang disusun tim ekonomi pemerintah kabinet Gus Dur segera mendapat tanggapan masyarakat. Berbagai pro dan kontra bermunculan muncul di kalangan masyarakat dari mulai kalangan atas sampai dengan kalangan masyarakat bawah.

Bagaimana sebenarnya menilai sebuah RAPBN ?

***

Satu hal yang bisa kita jadikan patokan untuk menilai angka-angka yang tertera dalam RAPBN adalah dengan melihat asumsi-asumsi yang dipakai pemerintah dalam menyusunnya. Dalam RAPBN 2001, Tim Ekonomi pemerintah memakai beberapa asumsi yang bisa kita kategorikan ke dalam dua kategori, yaitu asumsi makro dan mikro. Asumsi makro yang dipakai adalah bahwa harga minyak bumi berkisar sebesar 22 dollar AS per barel dan produksi minyak bumi mencapai 1,46 juta barel per hari. Sedangkan asumsi mikronya adalah penetapan kurs rupiah sebesar Rp 7.300 per dolar AS, target pertumbuhan sebesar 4,5 persen, laju inflasi sebesar 7 persen dengan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia tiga bulan sebesar 11 persen. Selain itu, PDB tahun anggaran 2001 ditetapkan sebesar Rp 1.408 triliun dan defisit anggaran sebesar Rp 52,1 triliun.

Pertanyaan yang kemudian patut kita gagas adalah atas dasar apa penetapan angka-angka tersebut di atas dan seberapa benar asumsi yang dipakai ?

Kurs Rupiah-Dollar AS
Menurut Menko Perekonomian Kabinet Gus Dur, Rizal Ramli, patokan kurs sebesar Rp 7.300 per dollar AS dibuat dengan asumsi bahwa kondisi perekonomian akan berangsur membaik sejalan dengan membaiknya kondisi Asia dari terpaan krisis ekonomi.

Asumsi dan pernyataan ini sepertinya mesti dikaji ulang kembali. Bila kita baca dan dengar di banyak media masa, akan terlihat betapa sebagian besar para pelaku pasar memandang patokan kurs kali ini sangat tidak realistis. Sebab, faktor-faktor positif yang mendukung nilai rupiah lebih sedikit jumlahnya ketimbang faktor-faktor negatifnya.

Dengan banyaknya kasus yang belum terselesaikan yang sarat dengan ketidakpastian hukum, bagaimana kita bisa berasumsi bahwa kondisi perekonomian -- yang jelas-jelas berkaitan erat dengan kondisi sosial-politik -- akan membaik ? Kita lihat saja bagaimana nasib kasus-kasus semacam pengeboman gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), insiden Atambua, pengadilan Soeharto, MSAA dan Bank Bali. Semua seolah berhenti tanpa ada kepastian hukum untuk menyelesaikannya. Padahal, adanya kepastian hukum dan kondisi sosial-politik yang baik sangatlah diperlukan dalam upaya perbaikan perekonomian yang mau tidak mau juga terkait erat dengan kurs rupiah.

Laju Pertumbuhan Ekonomi
Keterbatasan kapasitas dan ruang gerak kebijakan fiskal RAPBN kali ini dijadikan dasar oleh pemerintah dalam mematok laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4, 5 persen. Dari total pendapatan dan hibah yang diterima, pemerintah harus mengeluarkan kocek yang kali ini banyak dihabiskan untuk membiayai pengeluaran yang bersifat wajib dan tak terelakkan seperti bunga utang (31,9 persen), dana perimbangan (30 persen), subsidi (19,9 persen) dan belanja pegawai pusat (16,4 persen). Jika ditotal secara keseluruhan, pengeluaran yang berjumlah Rp 295,1 triliun tersebut akan membukukan nilai defisit sebesar Rp 52,1 triliun. Atas dasar itulah target pertumbuhan diperkirakan hanya akan berkisar 4,5 persen.

Meskipun banyak pendapat yang mengatakan bahwa laju pertumbuhan bisa mencapai lebih dari 4,5 persen, namun patokan angka tersebut sepertinya cukup realistis. Dengan defisit anggaran sebesar Rp 52,1 triliun dan anggaran pembangunan yang hanya berjumlah Rp 33 triliun, agaknya menjadi sulit bagi kita untuk bisa memacu pertumbuhan perekonomian.
Defisit tersebut akan dibiayai melalui hasil privatisasi sebesar Rp 5 triliun dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan sebesar Rp 27 triliun serta pembiayaan luar negeri sebesar Rp 20,1 triliun.

Menurut Rizal Ramli, pemerintah akan berusaha mendapatkan pinjaman dari International Development Agency (IDA) dari bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia yang bunganya nyaris nol persen untuk jangka waktu 30 tahun. Hanya saja, duit ini akan dipergunakan untuk melakukan refinancing (pembayaran kembali) hutang luar negeri sebelumnya untuk dapat meringankan beban bunga hutang.
Sementara itu, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Jamalludin Kassum, memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan pinjaman dari CGI sebesar US$ 4,5 miliar sampai dengan US$ 5,0 miliar untuk membiaya defisit anggaran dan cicilan dan pembayaran bunga hutang luar negeri.

Kendati demikian, sulit untuk bisa memastikan apakah program pembiayaan tersebut dapat berjalan dengan lancar. Sebagai perbandingan, target privatisasi sebesar Rp 6,5 triliun pada tahun 2000 masih belum menunjukkan hasil. Sedangkan duit hasil penjualan aset perbankan nampaknya akan mengalami hambatan yang berarti dikarenakan aset yang bakal dilego nilainya terkadang dinilai terlalu sedikit. Alhasil, pemerintah hanya bisa berharap banyak dari pembiayaan (hutang) luar negeri.

Dengan begitu, adalah realistis besaran angka 4,5 persen yang dipergunakan pemerintah untuk mematok tingkat pertumbuhan perekonomian. Selain itu, apa arti pertumbuhan ekonomi bila dibiayai dengan hutang ?

Laju Inflasi
Asumsi pemerintah bahwa laju inflasi akan mencapai angka tujuh persen dengan tingkat suku bunga SBI sebesar 11 persen agaknya perlu untuk ditinjau ulang kembali.
Hal tersebut disebabkan karena pada saat ini angka inflasi sudah mulai menunjukkan gejala kenaikan seiring dengan kenaikan harga BBM sebesar 12 persen yang kabarnya bahkan akan dinaikkan lagi sebesar 20 persen pada April 2001. Belum lagi ditambah dengan kondisi menjelang Natal dan Lebaran, kendati inflasi pada waktu tersebut dapat bersifat temporar.
Apabila asumsi 7 persen tersebut tetap saja dipakai namun harga terus mengalami kenaikan, maka cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan adalah menaikkan tingkat suku bunga perbankan. Dan secara otomatis, patokan suku bunga SBI harus mengalami perubahan.

Harga Minyak
Sampai saat ini, harga minyak di pasar internasional mencapai US$ 34 per barrel. Dengan demikian, asumsi pemerintah mematok harga sebesar US$ 22 per barrel dapat dikatakan realistis meskipun banyak pendapat termasuk Gus Dur yang mengatakan bahwa patokan harga tersebut dapat dinaikkan. Barangkali saja hal ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga karena bukan tidak mungkin harga di pasar internasional kembali turun.

Dengan melihat dasar penetapan asumsi dan kenyataan yang sementara terjadi, agaknya diperlukan berbagai upaya agar target yang dipatok dapat benar-benar terealisir. Bahkan bila perlu, melakukan revisi anggaran setelah melihat kondisi yang terjadi untuk mencapai target sepertinya yang diharapkan.

Hal-hal yang sekiranya perlu dilakukan untuk maksud itu semua adalah: pertama, melakukan program-program investasi untuk mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Upaya ini perlu dilakukan sebab seperti diakui sendiri oleh Menko Perekonomian Rizal Ramli, pemerintah tidak terlalu menjadikan RAPBN kali ini sebagai stimulus percepatan perekonomian; kedua, menciptakan suasana yang aman, kondusif dan penegakan aturan hukum dengan harapan dapat menarik investor (asing) untuk melakukan investasi di Indonesia; ketiga, memberantas KKN dengan yang diharapkan dapat membantu mempercepat program-program pemulihan ekonomi seperti penjualan aset perbankan, privatisasi, pemungutan pajak, dsb.

Dipati Ukur, akhir 2000