January 24, 2006

MENYOAL KEMBALI KEBOCORAN ANGGARAN NEGARA

(Arsip pribadi th 2000):

Pernyataan Ketua Umum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satria B. Joedono pada rapat paripurna DPR bahwa terjadi penyimpangan terhadap semua jenis anggaran dalam pengelolaan keuangan negara membuktikan bahwa sinyalemen terjadinya kebocoran anggaran yang pernah dilontarkan begawan Soemitro Djoyohadikusumo kembali terbukti.

Jika dulu Soemitro memberikan angka kebocoran sebesar 30 persen, hasil pemeriksaan BPK menemukan 929 kasus penyimpangan terhadap semua jenis anggaran dalam pengelolaan keuangan negara sebesar Rp 165,850 triliun atau 70,93 persen untuk tahun 1999/2000. Penyimpangan tersebut mencakup penyimpangan terhadap ketertiban dan ketaatan pada ketentuan perundang-undangan (Rp 151,614 triliun), penyimpangan terhadap kehematan dan efisiensi keuangan negara (Rp 9,917 triliun) dan penyimpangan terhadap jenis efektivitas pencapaian sasaran (Rp 4,317 triliun).

Sedangkan untuk periode April - September 2000, penyimpangan yang terjadi berjumlah 545 kasus senilai Rp 16,485 triliun. Dengan jenis-jenis penyimpangan yang sama dengan di atas, kebocoran tersebut terbagi dalam 352 kasus (Rp 1,057 triliun), 68 kasus (Rp 15,323 triliun) dan 125 kasus (Rp 104,771 milyar).

Kenyataan ini sungguh sangat memilukan mengingat hingga saat ini rakyat Indonesia masih harus berjuang untuk segera bangkit dari krisis multidimensi dengan anggaran pembangunan yang begitu minim. Kebocoran demi kebocoran selalu terjadi dari tahun ke tahun.
Lalu mengapa masih dan selalu saja terjadi kebocoran dalam pengelolaan keuangan negara ?

Terdapat sedikitnya tiga skenario yang membuat pengelolaan keuangan negara menjadi sedemikian kacau dan carut-marut, yaitu :

Pertama, kenyataan bahwa korupsi, kolusi dan segala macam bentuk perilaku yang merugikan negara telah menjadi sebuah budaya yang sulit untuk dihilangkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa berbagai macam dana yang mestinya dipergunakan untuk kemaslahatan umat banyak disunat oleh para oknum pejabat yang korup. Dan kenyataan ini, sudah terjadi semenjak dari orde lama sampai dengan era reformasi ini.
Mackie (1970) mengungkapkan bahwa korupsi :"…telah hampir menjadi penyakit yang tersebar di mana-mana pada era Soekarno ketika anggaran belanjanya yang menyebabkan inflasi mengikis gaji pegawai negeri hingga pada suatu titik di mana masyarakat tidak dapat hidup dengan mengandalkan gaji dan di mana keadaan finansial benar-benar hancur disebabkan oleh kehancuran administratif".

Kedua, ia merupakan cerminan dari adanya inefisiensi dalam pengelolaan pembangunan itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pengelolaan proyek-proyek pembangunan yang overlapping. Artinya, proyek-proyek tersebut dikelola oleh lebih dari satu lembaga tanpa adanya sistem pembagian dan pengawasan kerja yang jelas.

Sedangkan yang ketiga adalah adanya kenyataan bahwa efisiensi belum dihargai sebagai sebuah nilai yang benar-benar harus dijunjung tinggi. Contoh yang sering terjadi adalah pengerjaan proyek-proyek pembangunan yang dengan sengaja memboroskan banyak waktu, tenaga dan (tentu saja) dana.

Terlepas dari akurasi dan metodologi yang dipakai, kenyataan ini benar-benar sebuah ironi yang memilukan bagi rakyat Indonesia. Sebab disaat kondisi perekonomian masih jauh panggang dari api untuk dipulihkan, masih ada perilaku sebagian kecil orang merugikan sebagian besar orang.

Dengan melihat kenyataan tersebut, menjadi jelas bahwa diperlukan upaya yang sungguh-sungguh agar berbagai macam bentuk penyimpangan yang selama ini terjadi tidak lagi terjadi. Karena itulah mutlak diperlukan lembaga pengawasan yang keberadaannya benar-benar representatif, mandiri dan berwibawa.

Selama ini, lembaga pengawasan yang kita miliki keberadaannya hanya dipandang sebelah mata. Dalam hubungannya dengan pihak eksekutif yang seharusnya ia pantau aktivitasnya, lembaga ini terkesan tersubordinasi kendati menurut undang-undang semestinya independen.

Untuk itu, diperlukan terobosan untuk menata kembali mekanisme pengawasan yang sekaligus memberikan wewenang lebih besar terhadap lembaga pengawasan ini. Mekanisme pengawasan yang dimaksud, adalah mekanisme yang mampu menciptakan sebuah sistem pengelolaan anggaran yang mampu menghilangkan atau setidaknya mereduksi kemungkinan terjadinya penyimpangan.

Dipati Ukur, 2000