January 24, 2006

Cendekiawan, Reformasi dan Masyarakat Madani

(dipublikasikan di kolom Opinion www.lippostar.com, Kamis, 16/11/2000):

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) telah merampungkan hajat Muktamar III ICMI tahun 2000 di Jakarta dengan terpilihnya Adi Sasono sebagai ketua komunitas intelektual atau cendekiawan tersebut.


Ditengah banyaknya persoalan umat yang timbul, peristiwa ini nampaknya bisa menjadi momentum yang tepat untuk merenungkan dan mempertanyakan kembali peran para cendekiawan kita terhadap masa depan bangsa yang kian hari kian dilanda ketidakpastian.

Sederetan agenda persoalan menghadang dan mengharuskan kita untuk segera mencarikan jalan keluarnya. Berbagai metode dan upaya telah dilakukan untuk menghilangkan atau setidaknya mereduksi persoalan-persoalan tersebut. Lantas intelektual atau cendekiawan macam apakah yang mampu menjadi lampu penerang gelapnya nasib umat bangsa ini ?

Istilah Intelektual
Istilah intellectual atau intelektual muncul dari tulisan Clamenceau di salah satu harian Paris L'Aurore pada 23 Januari 1898 untuk menggambarkan para tokoh Dreyfusards (julukan bagi para pembela Kapten Dreyfus terhadap kesewenang-wenangan angkatan darat Perancis). Oleh pemerintah Perancis, kelompok ini dianggap sebagai gerakan pembangkang terhadap bangsa.

Istilah intellectual ini kemudian mendapatkan tempat lagi di dunia barat pada akhir abad ke-19 bagi sekelompok elit yang mematuhi kaidah dan norma-norma tertentu sebagai panutan dalam kehidupan bermasyarakat. Sekelompok elit atau kaum intelektual ini, memiliki peran sebagai agen pencerah yang memihak pada hati nurani dalam menyelesaikan problema yang timbul di masyarakat.

Membicarakan arti intelektual atau cendekiawan menghadapkan kita pada beragam penafsiran yang cukup mendasar dan aktual dalam artian bahwa disamping memiliki arti yang seharusnya bisa menjadi patokan atau acuan, juga memiliki batasan ruang dan waktu yang harus sesuai dengan kondisi dan konteks jaman sehingga artian tersebut tetap bisa relevan.

Itulah sebabnya kita terkadang sulit untuk mengartikan per definisi beragam arti dan istilah intelektual atau cendekiawan karena seperti dikatakan Mangunwijaya (1976) bahwa istilah dan pengertian tersebut selalu mengandung tafsiran tertentu.

Mengambil sedikit contoh, Julien Benda (1867-1956) dalam karyanya La Trihason des Clercs (1927) mengartikan cendekiawan sebagai seseorang yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mencari tujuan-tujuan praktis serta para moralis yang dalam sikap pandang dan kegiatannya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Mereka adalah para ilmuwan, filsuf, seniman, ahli metafisika yang menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu (bukan dalam penerapan hasil-hasilnya) seperti Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Rene Descartes, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltair dan Montesquieu.

Sedangkan Edward W.Said dalam The Representation of Intellectuals mengartikan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap dan filosofi kepada publik. Ia mencontohkan Bertrand Russel, Jean Paul Sartre, Albert Camus dan Noam Chomsky sebagai orang-orang yang pantas mendapatkan predikat tersebut.

Kedua pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa disamping memiliki banyak arti, setiap tempat dan jaman selalu memiliki arti dan ketokohan intelektual atau cendekiawan sendiri-sendiri. Jika Julian Benda mencontohkan Thomas Aquinas atau Edward W.Said menokohkan Bertrand Russel, maka barangkali kita memiliki Soedjatmoko atau Nurcholish Madjid.

Dengan tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan dan terlepas dari persoalan apakah artian dari kedua istilah tersebut masih relevan dalam arti dan konteks jaman, barangkali kita bisa menyepakati bahwa seorang intelektual atau cendekiawan adalah mereka yang memiliki karakteristik seperti yang dicirikan oleh Emil Salim, yaitu mereka yang memiliki tanggung jawab yang bertumpu pada hati nurani.

Sejarah dan Perkembangan Kaum Intelektual di Indonesia
Di Indonesia, kemunculan kaum intelektual atau cendekiawan dipelopori oleh para golongan terpelajar seperti Wahidin Sudirohusodo dan Tjipto Mangunkusumo. Perjuangan mereka saat berada di bawah penindasan bangsa Belanda kemudian diteruskan oleh tokoh-tokoh terpelajar lain dan pada saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dll.

Komitmen perjuangan kaum intelektual yang tidak berusaha untuk memihak salah satu atau banyak pihak menjadi sirna pada saat Soekarno mengklaim dirinya sebagai `Pemimpin Besar Revolusi'. Pada saat itu, kaum intelektual dan cerdik cendekia saling berkonfrontasi membela kepentinganya masing-masing.

Tumbangnya Soekarno dengan kemenangan `orde baru', ternyata kemudian lebih menjadikan para intelektual terlibat jauh dalam lingkaran kekuasaan pemerintah. Banyak dari mereka yang pada saatnya adalah seorang idealis, berubah menjadi kepanjangan tangan birokrasi yang dengan sedemikian fanatik membela golongan mereka sendiri (militer-teknokrat-birokrat). Kalaupun ada cerdik cendekia yang muncul ditengah-tengah masyarakat, pamor dan peran mereka kalah jauh dengan para politisi dan birokrat.

Maka terjadilah apa yang kemudian disebut Julian Benda sebagai `pengkhianatan intelektual' dimana perilaku kaum intelektual mengarah pada anti-intelektualisme dengan lebih mengedepankan ideologi kelompoknya. Menurut Ignazio Silone, seorang penulis yang berjuang di bawah fasisme Mussolini, pengkhianatan intelektual terjadi manakala ke-intelektual-an berubah menjadi sikap oportunis dengan mencari alibi guna menutupi pengkhianatannya.

Itulah sebabnya sebenarnya kita memiliki harapan besar saat para cendekiawan pada saat itu mendirikan banyak organisasi cendekiawan seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI) dan Perserikatan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI). Kendati ada pendapat yang mengatakan bahwa kemunculan banyak organisasi ini tak bisa disebut sebagai cendekia karena menjurus kearah `primordialisme', namun fenomena tersebut setidaknya membawa harapan dan angin segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. ICMI misalnya, pada saat dibentuk di student centre kampus Universitas Brawijaya Malang 7 Desember 1990, menyepakati organisasi ini sebagai sebuah gerakan moral.

Kesepakatan untuk menjadi sebuah `komunitas berdasar hati nurani' semacam ini memang sangat diperlukan bagi prasyarat terbentuknya masyarakat yang lebih baik. Hampir di seluruh penjuru bumi, sejarah mencatat bahwa kemunculan kaum intelektual dan atau cendekiawan hampir selalu memiliki peran yang sangat besar dalam mewujudkan cita-cita masyarakat yang ideal.

Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals (1996) mengatakan bahwa intelektual memiliki posisi untuk `mengungkapkan kebohongan-kebohongan pemerintah, menganalisis tindakan-tindakannya sesuai penyebab, motif-motif serta maksud-maksud yang sering tersembunyi'. Nyaris senada dengan Chomsky, Jean Paul Sartre menyatakan misi para intelektual adalah untuk menghalau kedunguan, prasangka serta emosi yang keliru, menghindarkan `dogmatisme yang steril' sehingga masyarakat diantarkan untuk mengubah dirinya di dalam dan melalui sejarah.

Karena itulah, sekali lagi, kehadiran dan peran para intelektual atau cendekiawan mutlak diperlukan terutama di negara-negara yang relatif terbelakang dan atau yang sedang membangun seperti Indonesia. Dalam masyarakat yang demikian, mereka memiliki peran yang amat vital dan strategis dalam upaya mewujudkan masyarakat sipil atau civil society. Menurut Max Weber, kehadiran mereka menjadi semakin urgen bila pembentukan civil society ini langsung dikaitkan dengan perkembangan dan eksistensi demokrasi yang sehat.

Masyarakat Madani
Dalam artian yang sederhana, masyarakat sipil atau madani adalah masyarakat yang mandiri dan self-generating. Masyarakat ini tidaklah muncul begitu saja, namun melalui sebuah evolusi yang amat panjang. Dalam prosesnya, masyarakat ini dibentuk melalui `pencerahan-pencerahan' agar mereka dapat berpikir bebas dan mandiri oleh mereka yang memiliki jiwa pembaharu dan bertanggungjawab terhadap masa depan masyarakat, yang tak lain dan tak bukan adalah kaum intelektual atau cendekiawan.

Agar perwujudan masyarakat ini benar-benar alami dan tidak artifisial, kaum intelektual dan cendekiawan haruslah mereka yang benar-benar memiliki kepedulian terhadap masyarakat atas dasar kebenaran dan hati nurani. Nilai-nilai dan ke-intelektual-an yang mereka miliki sangatlah diperlukan agar perubahan yang diinginkan dapat terjadi tanpa disertai kekerasan.

Dan nampaknya, kehadiran dan peran intelektual atau cendekiawan yang demikian saat ini benar-benar sedang menjadi harapan besar sebagian masyarakat untuk menyelesaikan beragam konflik yang ada disekeliling kita.

Disintegrasi, kekerasan, pelanggaran HAM, BLBI, pengadilan Soeharto, dan kasus-kasus KKN lainnya masih menjadi agenda dan tanda tanya besar yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Krisis moneter yang menjalar menjadi krisis multidimensi semakin juga menambah ketidakpercayaan masyarakat untuk saling curiga mencurigai. Cita-cita reformasi yang menjadi harapan terwujudnya masyarakat sipil yang ideal ternyata justru menyisakan banyak distorsi semacam KKN gaya baru, penyimpangan anggaran, ketidakpastian hukum, potensi disintegrasi dan sederetan kasus-kasus yang lain.

Karena itulah sebenarnya, kaum intelektual dan cendekiawan harus `bertanggung-jawab' terhadap ini semua disebabkan mereka memiliki peran yang sangat besar dalam momentum reformasi yang bergulir semenjak Mei 1998. Bagaimana konflik-konflik ini dapat diselesaikan ?

Banyak metode dan upaya penyelesaian konflik yang telah dilakukan, namun yang sepertinya dilupakan adalah bahwa salah satu penyebab semakin banyaknya persoalan yang timbul di era reformasi sekarang ini adalah karena tidak adanya tokoh yang menurut masyarakat layak menjadi panutan. Masyarakat terlanjur mencurigai bahwa apa yang dilakukan seorang tokoh masyarakat hanyalah untuk membela kepentingan sendiri atau golongannya. Ini yang membuat seorang Amin Rais `dicekal' di Jawa Timur atau Gus Dur yang didesak untuk segera mundur.

Dengan demikian jelas kiranya bahwa pada saat ini kita memerlukan intelektual atau cendekiawan yang benar-benar arif, bijak, adil dan memiliki komitmen terhadap kebenaran dan hati nurani dalam arti yang sebenarnya. Yang lebih penting, ia harus benar-benar bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Bila harapan ini bisa diwujudkan, akan dengan mudah barangkali para tokoh intelektual atau cendekiawan ini menyelesaikan sederet persoalan yang kita alami.

Karena itulah kita berpesan, bagi mereka para - atau yang mengaku diri mereka -- intelektual dan cendekiawan, sudah saatnya bangsa dan negara dibangun dengan hati nurani dan akal sehat. Sudah saatnya bagi para intelektual dan cerdik cendekia untuk kembali kepada fitrah yang diamanatkan Tuhan kepada mereka. Dan semua itu bisa dimulai dari diri kita sendiri.

Dipati Ukur, November 2000