January 26, 2006

Menjaring Money Laundering

dipublikasikan di www.lippostar.com, 22 /6/ 2001

Setelah sekian lama sempat tertunda, pemerintah pada akhirnya mengajukan usul Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang di DPR pada hari Senin, 18 Juni 2001. Lewat Menteri Kehakiman dan HAM, Marsilam Simanjuntak, pemerintah menegaskan niatan tersebut karena praktek cuci-mencuci uang atau money laundering telah menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.

Upaya ini nampaknya merupakan sebuah solusi yang baik ditengah ketiadaan peraturan yang mengatur aktivitas pencucian uang panas. Selama ini, ketiadaan dan kelemahan hukum serta peraturan yang ada menjadikan Indonesia sebagai ladang pembiakan yang sangat menggiurkan bagi para praktisi money laundering. Tak heran jika para praktisi money laundering melirik Indonesia sebagai tempat yang pas untuk melakukan kejahatan finansial tersebut dengan cara yang sedemikian bersih dan halus.

Kendati sampai sekarang belum ada angka pasti berapa jumlah pencucian uang yang dikembang-biakkan di Indonesia, namun disinyalir pada tahun 1996 saja jumlahnya sudah berkisar US$ 1,08 miliar dari US$ 10,8 miliar net capital inflow Indonesia yang berasal dari praktek ini. Apa dan mengapa money laundering itu bisa terjadi di Indonesia?

Dirty Money
Secara sederhana, money laundering adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor (dirty money). Uang kotor ini, berasal dari praktek-praktek haram dan illegal seperti korupsi, perdagangan wanita dan anak-anak, terorisme, penyuapan, penyelundupan, penjualan obat-obat terlarang, judi, prostitusi, tindak pidana perbankan dan praktek-praktek tidak sehat lainnya.

Untuk `membersihkannya', uang tersebut ditempatkan (placement) pada suatu bank atau tempat tertentu untuk sementara waktu sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering), misalnya melalui pembelian saham di pasar modal, transfer valuta asing atau pembelian suatu asset. Setelah itu, si pelaku akan menerima uang yang sudah bersih dari ladang pencucian berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau asset tersebut (integration). Proses inilah yang dinamakan money laundering karena dapat mengubah uang kotor menjadi bersih tak berbekas melalui proses keuangan yang sah.

Praktek tidak sehat ini pernah dilakukan diantaranya oleh Jose Gonzalo Rodrigues Gacha, seorang gembong narkotika asal Kolombia, yang beberapa tahun lalu mempraktekkan money laundering pada bank-bank besar di hampir seluruh penjuru dunia dari uang hasil penjualan narkotika sebesar 60 miliar dolar AS.

Praktisi lainnya adalah Semyon Yikovich Mogilevich, pemimpin organisasi Mafia Merah di Rusia, yang pada sejak Oktober 1998 sampai dengan Maret 1999 lalu berhasil mencucikan lebih dari 10.000 transaksi senilai 4,2 miliar dollar AS di Bank of New York dari hasil bisnis senjata, pelacuran, obat bius dan pembuangan sampah beracun dari AS ke Rusia. Diperkirakan, 500 miliar dollar AS uang haram `dicuci' setiap tahunnya melalui bank, dengan 100 miliar sampai dengan 300 miliar dollar AS di antaranya dilakukan melalui bank-bank di AS.

Di Indonesia, praktek money laundering pernah disinyalir oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 1999 lalu saat mereka berhasil membongkar isi rekening milik salah seorang pejabat tinggi negara. ICW juga tidak menutup kemungkinan akan adanya perpindahan uang yang terjadi dari bank lokal ke bank asing baik di dalam maupun di luar negeri milik para pejabat yang korup akibat terbongkarnya kasus tersebut. Bank Indonesia pada awal tahun 2000 lalu juga pernah mensinyalir adanya dana hasil money laundering oleh tiga bank swasta kategori A yang akan dilakukan untuk menyuntik modal agar dapat memenuhi ketentuan CAR sebesar empat persen.

Penyebab dan `Pendukung'
Daya tarik dan pesona yang dimiliki Indonesia sehingga membuat negeri ini bak surga bagi para pencuci uang tidak lepas dari ketiadaan (dan keberadaan) perangkat hukum yang belum (dan tidak mampu) mencegah terjadinya money laundering. Dengan kata lain, praktek pencucian uang dengan mudah bisa dilakukan di Indonesia akibat belum adanya undang-undang yang mengatur tentang pencucian uang. Disisi lain, upaya untuk mendeteksi adanya praktek illegal ini justru terhambat oleh peraturan yang ada akibat ketatnya bank menjaga kerahasiaan dana nasabah.

Sebagai contoh adalah Pasal 41 UU No.10/1988 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa untuk pengusutan perbankan, kerahasiaan bank baru bisa dibuka setelah ada surat permohonan dari Menteri Keuangan ke Gubernur BI. Setelah disetujui, barulah pimpinan BI sebagaimana diatur dalam Peraturan BI No.2/19/PBI/2000 mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat bank.

Kendati peraturan tersebut masih bisa membuka peluang untuk mendeteksi adanya praktek cuci-mencuci uang, namun hal tersebut belum cukup untuk menghentikan praktek money laundering karena sulitnya pembuktian bahwa praktek ini termasuk sebagai tindak kejahatan. Padahal di beberapa negara maju seperti Amerika, semua orang yang melakukan transaksi baik tunai maupun nontunai harus mematuhi berbagai ketentuan yang ada. Sanksi terhadap peraturan ini pernah dilakukan oleh Bank Sentral AS kepada BDN Los Angeles yang pernah lalai melaporkan transaksinya sebesar 10.000 dolar AS.

Menurut Muladi (Kompas, 2 Agustus 1999), terdapat sejumlah faktor yang mutlak diperhatikan apabila Indonesia hendak melakukan pengaturan dan perumusan kebijakan kriminal terhadap money laundering, yaitu :
  1. pengaturan tersebut hendaknya mencakup hukum pidana dan hukum administrasi. Hukum pidana berkaitan dengan proses kriminalisasi, sedangkan hukum administrasi berkaitan dengan government administrative order terhadap lembaga keuangan untuk mencegah dan mengatasi money laundering;
  2. dalam perjanjian ekstradisi dan saling membantu dalam perkara pidana hendaknya memasukkan money laundering dalam list of crimes;
  3. dalam hukum acara, hendaknya diatur untuk melacak, membekukan dan menyita barang haram tersebut;
  4. tindak pidana money laundering jangan dibatasi pada kejahatan narkotika saja;
  5. kerahasiaan bank hendaknya memperhatikan kekhususan yang berkaitan dengan money laundering.

Karena itu, usulan yang diajukan untuk mewajibkan lembaga keuangan menyampaikan laporan semua transaksi sebesar Rp 100 juta keatas yang juga harus jelas asal-usulnya, pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KPTPPU), perlindungan bagi pelapor dan saksi, insentif bagi pelapor transaksi money laundering dan dianutnya asas pembuktian terbalik dalam RUU Tindak Pidana Pencucian Uang ini patut mendapatkan dukungan.

Selain itu, diperlukan juga adanya perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain untuk menangkal terjadinya praktek pencucian uang ini. Sejumlah negara yang telah melakukan kerjasama dalam mengatasi masalah money laundering ini adalah Perancis, Kanada, Italia, Jerman Barat, Inggris, AS, Switzerland, Swedia, Spanyol, Belanda, Luxemburg, Belgia, Austria dan Australia. Pada tahun 1990, negara-negara tersebut sepakat memerangi masalah ini dengan membuat UU Kriminal, UU Perbankan dan Kerjasama Internasional.

UU Kriminal, dipergunakan untuk menjaring praktek money laundering sebagai suatu bentuk pelanggaran baik secara domestik maupun diluar batas wilayah. Sementara UU Perbankan dipergunakan untuk mengetahui atau mengawasi segala bentuk transaksi dan kepemilikan rekening bank. Kedua perangkat hukum tersebut saling dihubungkan antara negara satu dengan negara lainnya lewat kerjasama yang telah disepakati untuk saling memonitor transaksi.

Dengan cara tersebut, Amerika Serikat berhasil meredam peredaran uang, transaksi obat bius dan Australia sukses memberangus penggelapan pajak. Dengan cara tersebut pula, kasus-kasus seperti yang pernah dilakukan oleh para praktisi money laundering seperti Manuel Noriega, Presiden Marcos, Jose Gonzalo Rodrigues Gacha dan Aldo Gucci, besar kemungkinan tidak akan terulang kembali.

Dan bagi kita, yang lebih penting lagi adalah kemauan dan mental setiap instansi dan pejabat terkait serta para pelaku bisnis untuk memerangi praktek tidak sehat ini. Kecuali, kita semua sengaja membiarkan karena kita pun merasa diuntungkan.