June 02, 2005

MENCARI FORMAT PENGEMBANGAN KOPERASI

Jurnal PRESTASI STIE Bank BPD Jateng No.1 /I /1999 :

Adalah R.Aria Wiria Atmadja, seorang Patih Purwokerto yang tidak tahan melihat banyaknya pegawai pemerintah hidup dalam kungkungan para lintah darat. Ia kemudian mendirikan Hulp-En Spaarbank De Indlandsche Bestuung Amstenaren yang dalam perkembangannya kemudian menjadi bangun usaha Koperasi yang pada 12 Juli 1998 ini berusia lima puluh satu tahun.

Koperasi, adalah bangun usaha yang mengusahakan kesejahteraan sosial seperti yang diucapkan Bung Hatta dalam teks pidatonya yang berjudul Indonesians Aims and Ideas tanggal 23 Agustus 1945 : “what we Indonesians want to bring into existence is a Co-operative Commonwealth.”

Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat yang kolektif, berakar pada adat-istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi sesuai tuntutan jaman modern. Semangat kolektivisme yang akan dihidupkan kembali dengan koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antara manusia pribadi, bebas dari penindasan dan paksaan. Ia menghargai pribadi manusia sebagai mahluk Allah yang bertanggungjawab atas keselamatan keluarga dan masyarakat dengan tetap menolak pertentangan dan persaingan dalam bidang yang sama.
Koperasi semacam ini, akan memupuk semangat toleransi dan rasa tanggung jawab bersama yang secara tidak langsung akan memperkuat demokrasi sebagai cita-cita bangsa.

Selama lima Pelita pertama, pembangunan koperasi diarahkan untuk mencapai dua tujuan pokok, yaitu sebagai wahana utama pembinaan kemampuan usaha golongan ekonomi lemah dan menjadi lembaga ekonomi yang kuat sehingga golongan ekonomi lemah mampu memainkan peranan yang sesungguhnya dalam tata ekonomi Indonesia.
Sedangkan dalam PJPT kedua, tujuan pembangunan koperasi adalah mewujudkan koperasi mandiri dan tangguh serta mampu berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat.

Meski sesuai dengan cita-cita para pendiri Republik kita ini, yang banyak terdengar kemudian ternyata bukan berita baik, namun justru kegagalan-kegagalan dan segala macam cerita pahit tentang keberadaan koperasi.

Banyak pihak menilai bahwa pembangunan koperasi betapapun telah mencapai beberapa kemajuan, tapi kemajuan tersebut lebih bersifat kuantitatif daripada kualitatif. Maksudnya, penonjolan pada jumlah koperasi, anggota, modal volume usaha, SHU dan sebagainya belum dibarengi dengan peningkatan kemampuan sebagai kekuatan ekonomi yang siap terjun dalam arena persaingan, sementara perwujudan demokrasi ekonomi juga masih jauh dari harapan (Pusat Informasi Perkoperasian, 1992).

Padahal, berbagai upaya telah dilakukan agar soko guru perekonomian kita itu bisa tetap eksis. Merujuk pada program Bapak Angkat-Mitra Usaha Industri Kecil (BA-MUIK) misalnya, upaya yang dilakukan mencakup pola dagang, pola langsung atau vendor, sub-kontrak dan pola pembinaan.
Pola dagang, adalah pola dimana bapak angkat akan bertindak sebagai pemasar produk yang dihasilkan oleh mitra usahanya (koperasi). Vendor, adalah kerjasama dimana produk yang dihasilkan oleh mitra kerjanya akan digunakan oleh bapak angkat, tetapi produk tersebut tidak menjadi bagian produk yang dihasilkan oleh bapak angkat. Sub-kontrak, adalah pola dimana produk yang dihasilkan oleh mitra usaha menjadi bagian dari produk yang dihasilkan oleh bapak angkat. Sedangkan pola pembinaan adalah kerjasama yang dilakukan antra bapak angkat dengan mitranya dimana si bapak angkat bertindak atau melakukan pembinaan saja.

Program-program tersebut didukung secara finansial oleh keharusan menyediakan 20 persen kredit perbankan bagi pengusaha kecil yang tertuang dalam Paket Januari 1990, penyisihan laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 1-5 persen dan himbauan Presiden Soeharto dalam pidato pengantar RAPBN 1990/1991 agar koperasi dapat ikut memiliki saham perusahaan-perusahaan besar.


Himbauan tersebut ditegaskan kembali dihadapan 31 pengusaha kelas kakap pada tanggal 4 Maret 1990 di Tapos agar 25 persen saham koperasi diberikan kepada koperasi. Pada saat yang sama, diserahkan 10 persen saham PT Teh Nusamba Indah milik kelompok Nusamba kepada 12 orang wakil KUD, koperasi karyawan dan Unit Desa Usaha Petani the (UUPT).

Upaya-upaya diatas hanyalah segelintir contoh “pemberdayaan” koperasi. Lantas, mengapa “kegagalan” masih saja terjadi ?

Beberapa hal yang selama ini dituding sebagai penyebab kegagalan koperasi diantaranya adalah kurangnya pimpinan, pimpinan yang ada tidak memenuhi kualitas pimpinan, kurang disiplinnya anggota koperasi, tidak pernah diadakan penguatan sendi-sendi dasar koperasi secara sistematis dari dalam koperasi itu sendiri serta intervensi dari aparatur /pejabat pemerintah (Frans Seda, 1984).

Sedangkan menurut Subiakto Tjakrawerdaya (1992), kegagalan tersebut diakibatkan oleh masih terbatasnya kualitas dan partisipasi anggota, terbatasnya sumberdaya manusia yang profesional, belum berkembangnya perangkat lunak keorganisasian koperasi, lemahnya komponen modal dalam struktur permodalan dan belum tumbuhnya kemampuan koperasi untuk menyatukan seluruh kemampuan yang dimiliki.

Namun bila kita telaah lebih lanjut, hal-hal tersebut diatas bukan merupakan penyebab kegagalan koperasi, namun lebih sebagai akibat dari kondisi eksternal karena “kesalahan” menata struktur perekonomian nasional.
Lantas, dimana letak kesalahannya ?


Sistem Ekonomi Pancasila
Membicarakan Koperasi yang dipercaya sebagai sebuah soko guru perekonomian berarti juga menyingkap bagaimana sesungguhnya isi dan wajah sistem perekonomian kita. Hal ini disebabkan karena koperasi itu sendiri adalah perwujudan dari sebuah “sistem” , yaitu Sistem Ekonomi Pancasila.

Sistem ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Emil Salim, 1984) : (1) peranan negara beserta aparatur ekonomi negara adalah penting, tapi tidak dominan agar dicegah tumbuhnya sistem etatisme. Peranan swasta adalah penting, tapi juga tidak dominan agar dicegah tumbuhnya free fight liberalism; (2) hubungan kerja antar lembaga-lembaga ekonomi tidak didasarkan pada dominasi modal seperti halnya sistem ekonomi kapitalis, tapi asas kekeluargaan ; (3) masyarakat sebagai suatu kesatuan memegang peranan sentral dalam sistem ekonomi Pancasila; (4) negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; (5) sistem ekonomi Pancasila tidak bebas nilai. Sistem nilai ini justru mempengaruhi kelakuan pelaku ekonomi.

Berangkat dari kelima ciri inilah koperasi kemudian dikembangkan. Dari kelima ciri pula inilah kita mengetahui bahwa meskipun secara ekstrem kita tidak menganut kapitalisme dan sosialisme, namun sangat terlihat bahwa Sistem Ekonomi Pancasila ini lebih banyak diwarnai oleh corak sosialisme seperti tertulis dalam Pasal 33 UUD 1945 : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.

Menurut Bung Hatta (1963), sosialisme Indonesia timbul karena tiga faktor, yaitu ajaran agama, ekspresi jiwa berontak bangsa Indonesia karena ketidakadilan penjajah dan ketidaksediaan para pendiri republik ini menerima marxisme sebagai pandangan hidup yang berdasar materialisme.

Meski lebih condong kepada sosialisme, namun de facto yang terjadi adalah semakin dominannya sistem ekonomi kapitalis dalam realita perekonomian kita. Hal ini ditandai oleh bekerjanya sektor negara, swasta dan koperasi dalam suatu pasar secara bersama-sama dengan menempatkan tingkat pertumbuhan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Dalam sistem ini, peranan kapital yang bertujuan untuk berakumulasi dan berekspansi begitu dominan.

Kondisi ini diperparah oleh maraknya praktek-praktek monopoli dan oligopoli yang dengan nafsu ekspansinya merambah segala jenis bidang keuangan, agribisnis, perkayuan, manufaktur, perikanan, perdagangan nasional-internasional, transportasi, real-estate dan lain sebagainya.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai rata-rata 6,8% selama Pelita V, konglomerasi di Indonesia juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan. Penguasaan sepuluh konglomerat yang pada Pelita V yang mencapai angka 35% terhadap product domestic bruto (PDB), meningkat menjadi 58% di tahun 1994 (Suara Merdeka, 24 Maret 1997) sementara koperasi hanya menyumbang tak lebih dari 1,5 persen.

Hal ini pernah dikatakan oleh Kwik Kian Gie dalam sebuah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Departemen Koperasi di Jakarta, bahwa walaupun infrastruktur koperasi telah maju dengan tingkat pertumbuhan yang meyakinkan, andilnya dalam pembentukan PDB masih teramat kecil. Dengan sendirinya, kemakmuran anggota koperasi juga masih jauh tertinggal dibanding sektor modern, apalagi dengan perusahaan besar semacam konglomerat.


Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa konglomerat kita telah menguasai lebih dari separuh product domestic bruto yang dihasilkan setiap tahunnya. Artinya, struktur produksi negara kita telah dikuasai oleh segelintir orang saja.
Hal ini jelas bertentangan dengan hakekat demokrasi ekonomi dalam sistem ekonomi Pancasila dimana kekuatan ekonomi tidak terkonsentrasi pada satu atau beberapa orang saja, melainkan ter-dispersi (tersebar) pada masyarakat.

Yardstick System
Fenomena diatas memberikan kesimpulan bahwa sistem yang ada dalam koperasi bukanlah sistem yang dominan dalam perekonomian kita sebagai akibat dari dianutnya paham pluralistis dimana tiga subsistem (negara, swasta dan koperasi) yang berbeda diakui koeksistensinya dalam sistem ekonomi yang pada dasarnya kapitalis.

Konsekuensi logis yang kemudian timbul adalah keberadaan koperasi yang hanya menjadi subsistem dari sistem kapitalis. Kekuatan ekonomi nasional tidal lagi ditangan koperasi, melainkan didominasi oleh sektor negara (BUMN) dan swasta.


Disinilah terjadi apa yang dinamakan model yardstick system, dimana pilar utama sistem perekonomian adalah kapitalis. Koperasi, hanya berfungsi sebagai elemen kontrol atau counterpower agar sistem kapitalis yang dominan berjalan lebih efisien.

Hal ini disebabkan karena mekanisme pasar yang diciptakan oleh sistem kapitalis memungkinkan terjadinya ketidaksempurnaan pasar (market imperfection) yang memungkinkan terjadinya disparitas atau kesenjangan alokasi efisiensi. Petani, konsumen atau kelompok masyarakat yang lain akan bergabung dalam wadah koperasi manakala kondisi yang diakibatkan oleh market imperfection seperti monopoli dan oligopoli terjadi.

Konsekuensi yang timbul dari berlakunya model ini adalah ketidakmampuan koperasi menjadi sokoguru perekonomian nasional. Aktifitas-aktifitas yang dilakukan, hanya untuk menampung kegiatan ekonomi yang tidak layak oleh sektor negara dan swasta (Sutrisno Iwantono, 1992).

Apakah hal ini berarti koperasi tidak dapat hidup di alam kapitalis ? Tentu saja dapat. Pengalaman di Kanada menunjukkan bahwa koperasi mempunyai potensi besar untuk berkembang di negara kapitalis. Di sana, terdapat berbagai kelompok koperasi yang tergabung dalam Co-operative Union of Canada. Anggotanya terdiri dari grup manufaktur dan penyedia bahan konsumsi serta bahan baku melalui toko-toko, grup keuangan, pemasaran hasil-hasil pertanian, jasa dan lain sebagainya (Dawam Rahardjo, 1985). Namun sekali lagi, peran yang dimainkan koperasi dapat terabaikan dalam sistem perekonomian yang demikian.


Alternatif Solusi
Fenomena diatas memperlihatkan betapa koperasi menghadapi banyak hambatan dan tantangan yang cukup berarti. Solusi yang akan dilakukan, harus menjawab kearah mana koperasi akan dikembangkan.

Alternatif pertama adalah mengembangkan model cooperative commonwealth dimana koperasi menjadi sistem perekonomian yang dominan menggantikan sistem kapitalis. Karakteristik yang melekat pada cooperative commonwealth ini adalah hilangnya motiv profit making dalam sistem perekonomian serta keterlibatan sektor negara dan swasta menjadi pendukung koperasi. Disini, koperasi benar-benar menjadi sokoguru perekonomian nasional.


Meskipun sebenarnya ideal, namun dalam kondisi perekonomian seperti sekarang, alternatif pertama ini nampaknya sulit untuk dilakukan. Sistem kapitalis yang telah begitu dominan, hampir tidak mungkin apabila digantikan dengan sistem yang ada pada koperasi. Kalaupun tetap dilakukan, dibutuhkan reformasi yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Inilah dilema paling pelik yang terjadi manakala kita mencoba mempertemukan idea dengan realita yang ada.

Alternatif kedua, adalah mengembangkan atau memasukkan “ruh” koperasi dalam seluruh proses dan mata rantai ekonomi. Sebagai “ruh”, koperasi dapat hadir tidak hanya dalam bentuk badan usaha koperasi namun juga dalam diri BUMN dan badan usaha swasta. Disini, rakyat banyak tetap dapat memiliki, menguasai dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada pada sektor negara dan swasta tanpa harus merubahnya menjadi koperasi. Hal ini dapat dilakukan melalui pemilikan saham perusahaan-perusahaan yang telah go-public oleh koperasi maupun rakyat banyak.


Yang kemudian menjadi persoalan adalah bahwa aktifitas jual-beli saham di capital market memungkinkan kepemilikan saham berpindah tangan secara cepat. Ide ini akan sia-sia apabila terjadi aksi beli terhadap saham-saham yang dimiliki oleh koperasi dan masyarakat yang dilakukan oleh seseorang dalam jumlah yang banyak.

Alternatif ketiga adalah membuat koperasi menjadi besar seperti halnya perusahaan-perusahaan milik konglomerat. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat sebuah usaha berskala besar dari kerjasama antara beberapa koperasi yang mempunyai bidang garap yang saling berlainan.


Jika bisa dilakukan, bukan tidak mungkin koperasi dapat menjadi besar seperti koperasi di manca negara yang berhasil menjadi konglomerat. Nokyo, misalnya, adalah koperasi petani di Jepang yang berhasil menjadi konglomerat lewat empat bisnis besarnya, yaitu kredit, asuransi, dagang dan kesejahteraan. Selain di Jepang, keberhasilan koperasi ternak di Australia dan koperasi susu di Belanda bisa menjadi contoh betapa koperasi tak hanya menjadi anak bawang belaka.

Dari alternatif-alternatif pilihan tersebut, alternatif ketiga merupakan pilihan yang tepat untuk saat ini. Meski agak “menyimpang” dari ide semula, namun setidaknya sesuai dengan tujuan pembangunan koperasi yang mandiri dan tangguh pada PJPT II dimana sebagian besar persyaratan koperasi mandiri adalah pada hal bisnis.

Mengharapkan program kemitraan -- meski hal ini positif -- justru akan terus membuat koperasi hanya menjadi sebuah subsistem perekonomian. Adalah sangat logis jika seorang pengusaha tidak akan rela bisnisnya ‘termakan’ oleh mitra bisnisnya sendiri. Sebagai contoh adalah protes yang dilakukan oleh para pemasok Matahari yang notabene para pengusaha kecil dikarenakan Matahari menerapkan sistem konsinyasi barang-barang dagangan mereka. Bagi para pengusaha kecil tersebut, sistem ini sama saja dengan menyetorkan modal ke Matahari (Bisnis Indonesia, 28 Juni 1997).

Semua ini, jelas memerlukan kesungguhan dan kemauan pemerintah agar koperasi dapat ikut berkompetisi dalam lalu-lintas perekonomian. Diperlukan kemauan untuk menghilangkan -- setidaknya mereduksi -- intervensi yang selama ini dilakukan. Analog dengan sebuah pohon, ia tidak akan menjadi besar seandainya dibiarkan tumbuh dalam pot.


Dalam skala yang lebih luas, diperlukan political will pemerintah untuk membenahi carut-marutnya perekonomian nasional yang didominasi oleh kekuatan monopoli dan oligopoli dari segelintir orang saja.
Wallahu a’lam.