Majalah WARTA BRI No.10 /XX/ Oktober 1997 :
Kegairahan investor di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dalam perdagangan saham Bank Pikko tanggal 8 April 1997 yang lalu tampaknya harus dibayar mahal.
Bukan saja karena transaksi efek yang dilakukan dengan short selling tersebut mengakibatkan tiga direksi bursa di Kawasan Sudirman itu harus menjalani ‘interogasi’ Bapepam karena dianggap telah ‘lalai’ memantau pergerakan harga saham sehingga harga saham sempat melejit sebesar 108 point, namun juga karena transaksi yang mengakibatkan empat perusahaan sekuritas gagal serah saham itu terkena suspend atau penghentian transaksi untuk sementara.
Tak pelak, para investor yang telah melakukan aksi beli tanpa memiliki saham yang 7.1 juta lembar sahamnya dikuasai oleh Putra Saridaya Perkasa itu mau tak mau harus memiliki saham tersebut dengan kondisi harga berapapun sebelum diserahkan kepada si pembeli setelah 4 hari transaksi (T+4).
Mereka, para investor tersebut, punya pilihan yang harus dilakukan : membeli saham Bank Pikko (dengan harga yang belum tentu lebih rendah dari yang diharapkan) atau ‘meminjam’ saham milik investor lain. Apabila kedua pilihan tersebut tidak dapat mereka lakukan, alternatif terakhir yang harus dilakukan adalah membayar denda selama periode tunda sebelum ia mampu membeli kembali saham tersebut.
Mekanisme Short Selling
Short selling (short sale) adalah suatu istilah yang lazim dalam perdagangan sekuritas yang menunjukkan tindakan penjualan sekuritas yang belum dimiliki penjual dengan harapan agar sekuritas tersebut menurun pada saat pemyerahannya sehingga dengan cara itu penjual akan mendapatkan laba.
Sebagai misal Tuan A, memperkirakan bahwa harga saham Bank Pikko yang pada saat sekarang ini bernilai Rp 1300 akan turun pada sesi berikutnya.
Melihat peluang ini, Tuan A yang tergolong risk seeker investor itu segera melakukan short selling dengan melakukan aksi jual saham tersebut pada Tuan B. Dari transaksi yang terjadi dengan Tuan B, Tuan A akan memperoleh Rp 1300 dikalikan jumlah saham yang dia jual.
Apabila pada sesi berikutnya harga saham Bank Pikko tersebut benar-benar turun menjadi Rp 1100 misalnya, Tuan A segera melakukan aksi beli saham Bank Pikko tersebut untuk kemudian diserahkan pada Tuan B.
Sebuah transaksi yang yang nampaknya begitu menggiurkan, karena tanpa selembar saham pun, Tuan A bisa memperoleh keuntungan sebesar Rp 200 per lembar saham.
Meski begitu, Tuan A juga harus siap menghadapi risiko yang mungkin timbul apabila harga saham tersebut bukannya menjadi lebih rendah, namun justru naik katakanlah menjadi Rp 1500. Apabila ini yang terjadi, ia harus menanggung kerugian sebesar Rp 200 dikalikan jumlah lembar saham yang dia ‘jual’.
Dan kenyataan inilah yang terjadi pada saham Pikko. Harga saham terus melejit naik sampai saat suspend. Bisa dibayangkan, berapa kerugian yang harus diderita seorang investor yang melakukan short selling dari mulai awal saat harga terpatok Rp 1300 menjadi Rp 4000 apabila jumlah lembar saham yang ditransaksikan berjumlah besar.
Sebagai gambaran, jumlah saham yang menjadi tanggungan investor yang melakukan transaksi lewat broker mereka adalah 2.500 saham (Mentari Securindo), 2.500 saham (Artha Gitasejahtera Sekuritas), 72.000 saham (Bumi Artha Securindo) dan 105.000 saham (Finan Corpindo Nusa).
Selain dilakukan dengan cara menjual saham seperti tertulis diatas, short selling dapat juga dilakukan dengan cara meminjam saham. Artinya, saham yang diberikan Tuan A kepada Tuan B merupakan saham pinjaman dari investor lain untuk kemudian dikembalikan lagi pada si empunya saham setelah Tuan A melakukan pembelian kembali saham tersebut.
Ilustrasi diatas setidaknya bisa memberikan sedikit kesimpulan bahwa apabila tingkat keuntungan yang diharapkan adalah negatif, investor bisa melakukan short selling.
Bahkan dalam keadaan dimana tingkat keuntungan yang diharapkan positif, pemodal masih mungkin melakukan short selling dikarenakan kas masuk yang diterima pada saat awal periode bisa dipergunakan kembali untuk membeli sekuritas lain yang diharapkan memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi.
Yang lebih ‘menarik’ adalah bahwa short selling -- yang di beberapa bursa manca negara dapat dilakukan karena terdapat lembaga penjamin transaksi itu -- memungkinkan investor melakukan transaksi efek melebihi jumlah dana yang ia miliki.
Sebagai misal, saham A dan Saham B diperkirakan akan memberikan tingkat keuntungan masing-masing sebesar 25% dan 20%. Apabila mekanisme short selling tidak diperbolehkan, tingkat keuntungan tertinggi yang bisa diperoleh dari saham A dari uang sebesar Rp 1 juta hanyalah sebesar Rp 250.000 (Rp 1 juta x 0,25).
Namun dengan short selling, tingkat keuntungan yang diharapkan bisa menjadi lebih besar. Dengan melakukan short selling pada saham B katakanlah sebesar Rp 10 juta, dana yang diperoleh investor tersebut bertambah menjadi Rp 11 juta (Rp 1 juta + Rp 10 juta).
Apabila dana tersebut diinvestasikan seluruhnya pada saham A, keuntungan yang diharapkan naik menjadi Rp 2,75 juta (Rp 11 juta x 0,25).
Dengan hanya mengembalikan Rp 2 juta (Rp 10 juta x 0,20) pada saham B, keuntungan yang diperoleh pada saham A menjadi Rp 750.000 (Rp 2,75 juta - Rp 2 juta) atau naik 300 persen dibandingkan keuntungan pada saat short selling tidak dilakukan.
Apakah hal tersebut juga berarti posisi yang lebih baik ? Sulit untuk menjawabnya, karena meskipun tingkat keuntungan menjadi lebih besar, risiko yang harus ditanggung juga akan semakin tinggi. Artinya, sikap yang diambil akan sangat bergantung pada preferensi masing-masing investor terhadap risiko.
Yang jelas, perhitungan diatas sedikit banyak bisa menyimpulkan bahwa short selling memungkinkan jumlah transaksi yang terjadi menjadi lebih besar dan banyak karena dengan jumlah dana yang terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali, transaksi efek bisa terjadi.
Kalau benar demikian, apa yang dipersoalkan ? Bukankah semakin banyak transaksi yang dilakukan (yang salah satunya lewat short selling), akan membuat pasar menjadi lebih likuid ?
Cornering
Pilihan investasi efek yang dilakukan melalui short selling membawa sebuah konsekuensi manakala investor gagal menyerahkan sahamnya (settlement) pada hari keempat setelah transaksi atau T+4. Ia harus membayar denda selama periode tunda sampai dapat membeli atau memperoleh saham tersebut untuk memenuhi kewajibannya.
Yang kemudian menjadi persoalan adalah apabila jumlah saham yang dijadikan ajang transaksi short selling tersebut dikuasai hanya oleh satu atau segelintir investor saja (cornering). Seperti dalam pasar monopoli, cornering memungkinkan mereka yang menguasai komoditas (saham) yang diperdagangkan dapat mengendalikan apa-apa yang menjadi keinginannya.
Sebab, investor yang gagal serah saham mau tidak mau harus membeli saham dengan harga berapapun dari mereka yang memiliki saham plus membayar denda selama periode tunda. Seandainya sebagian besar saham tersebut dimiliki secara monopoli, dengan mudah kita bisa menebak apa yang akan terjadi.
Artinya, posisi corner, bisa dimanfaatkan secara efektif pada saat transaksi short selling terjadi.
Maka, kekhawatiran pemerintah atau siapa saja terhadap transaksi short selling barangkali dapat kita pahami. Bukan pada persoalan likuid-tidaknya pasar atau ada-tidaknya lembaga penjamin transaksi ini, namun karena pasar modal kita masih relatif baru sehingga memungkinkan sebagian pelaku pasar mencari celah-celav h atau titik-titik kelemahan yang ada untuk melakukan ‘permainan’ seperti insider trading, cornering atau ‘jenis-jenis permainan’ yang lain.