February 11, 2014

Mengantisipasi Kehadiran Botcoin

Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan mekanisme transaksi yang digunakan, alat pembayaran juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Berbagai inovasi instrumen dan mekanisme pembayaran telah melahirkan banyak pilihan bagi kita untuk memilih instrumen dan mekanisme yang dianggap paling bermanfaat. Beberapa alat pembayaran ‘alternatif’ yang saat ini mulai banyak digunakan diantaranya adalah berupa eWallets (Paypal, Google Checkout, WebMoney), direct debit systems (eBillMe), money transfer system (Moneygram) dan sebagainya. 

Belakangan ini, dunia kembali diramaikan dengan kehadiran Bitcoin (BTC), mata uang virtual yang lahir pada tanggal 3 Januari 2009. ‘Uang digital’ ini diciptakan oleh Satoshi Nakamoto, seseorang atau sekelompok orang yang nama dan keberadaannya masih menjadi misteri sampai saat ini. 

Pada tahun 2008, Nakamoto mempublikasikan research paper berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic System” yang pada intinya berisi idenya tentang sebuah alat pembayaran yang bisa dilakukan secara peer-to-peer tanpa keterlibatan institusi atau otoritas keuangan namun bisa dimiliki oleh siapa saja. 

BTC tidak berwujud uang koin namun berupa sekumpulan bit dan tidak dikontrol oleh bank sentral namun oleh software open-source. Dengan software itu pula mata uang BTC dihasilkan. Sebagaimana emas yang harus ditambang dari perut bumi, BTC juga diperoleh dengan cara ‘menambang’ dari ‘perut bumi’ digital.

BTC tersebut tersimpan di sebuah database terenkripsi bernama Block Chain. Untuk bisa menembus wilayah ini dan mengambil harta karun yang ada di dalamnya, para ‘penambang’ (miner) harus memecahkan kode enkripsi melalui komputer berkemampuan tinggi. Jika suatu blok sudah ditemukan, maka blok lain akan bisa dibuka dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Nakamoto sepertinya beranggapan bahwa menambang BTC sama susahnya dengan menambang emas. 

BTC (kode BTC) yang dimiliki akan disimpan di media penyimpan komputer yang digunakan untuk menambang sebagai ‘dompet’ (wallet). Namun apabila perangkat ini hilang atau di-format ulang, semua BTC yang tersimpan juga akan ikut hilang. 

Kendati setiap orang memiliki peluang untuk mendapatkan BTC, tidak berarti bahwa mata uang kemudian bisa ‘diproduksi’ besar-besaran tanpa batasan. Seperti halnya kandungan emas yang jumlahnya terbatas, BTC yang ada dalam Block Chain hanya berjumlah 21 juta. 

Dari para ‘penambang’ inilah BTC yang berhasil dikumpulkan kemudian digunakan sebagai alat pembayaran. Lewat merchant yang menerima transaksi pembayaran online dengan BTC, uang ini kemudian akan berpindah kepemilikan kepada pihak lain seperti lazimnya alat pembayaran lain. Sebenarnya, BTC bisa menjalankan fungsinya sebagai media pembayaran dengan efektif dan efisien. Selain bisa dilakukan secara langsung (peer-to-peer) dengan hitungan detik dalam skala global, transaksi BTC juga meniadakan biaya transaksi. 

Pekerjaan rumah Indonesia 
Namun, BTC kemudian tidak sekedar menjadi alat pembayaran. Seperti halnya mata uang lain, BTC kemudian juga menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Pembeli BTC barangkali memperkirakan bahwa pada saatnya nanti mata uang yang jumlahnya terbatas ini akan menjadi alat pembayaran yang paling banyak digunakan untuk bertransaksi. Bahkan bukan tidak mungkin jika BTC bisa menjadi ajang para spekulan. 

Pada awal tahun ini, harga BTC yang berdasarkan informasi dari BTCcharts.com adalah US$ 13,50 per unit, melonjak drastis menjadi US$ 1000 perunit pada pertengahan Desember 2013 dan langsung turun dalam sehari menjadi sekitar US$ 600. Ketiadaan otoritas yang bisa mengatur peredaran atau mengontrol harga dan sifat transaksinya yang dilakukan tanpa identitas bisa dimanfaatkan untuk tujuan negatif seperti pencucian uang dan transaksi illegal.

Transaksi illegal akan mudah dilakukan tanpa seorang pun bisa mengetahui siapa yang melakukannya. Hal ini bisa terjadi karena transaksi BTC dilakukan secara anonim. Dompet BTC tidak mencantumkan nama pemilik sehingga tidak akan diketahui orang lain bahkan oleh merchant yang menerima pembayaran. 


China dan Korea sudah melarang pihak bank berhubungan dengan BTC meski masih membolehkan transaksi secara peer-to-peer.  Di Indonesia, sudah ada website yang secara ‘resmi’ melakukan jual-beli BTC lengkap dengan kurs jual-beli. Pada tanggal 18 Januari 2014 kemarin, kurs beli BTC Rp 10.481.300 dan kurs jual 9.348.400.

Lewat sebuah tulisan yang diunggah melalui internet, Nakamoto sudah menyatakan pamit untuk ‘pergi’. Tidak menjadi soal siapa dia sebenarnya dan dimana dia berada karena problem utamanya adalah dia telah memberikan pekerjaan rumah yang sepertinya harus segera ditemukan jawabannya. 



















(Tulisan ini dimuat di Harian Kontan, 10 Februari 2014)